Sabtu, 22 Agustus 2009

Michael Jackson dan Mbah Surip


Oleh : Heru Emka

planetmusikheruemka.blodspot.com


Michael Jackson dan Mbah Surip telah menjadi bintang media massa, dengan pemberitaan tentang kisah personal dan berita kematiannya yang menghenyakkan. Keduanya adalah selebritis dengan sisi yang berbeda tajam, tak ubahnya dua sisi berbeda dalam sebuah kepingan mata uang logam. Michael Jackson adalah mega bintang kelas dunia. Sedangkan Mbah Surip hanya seniman biasa yang jalan hidupnya melejit ke papan atas akibat fenomena tak terduga yang sering terjadi dalam ‘hukum’ budaya pop.

Keduanya telah mencuri perhatian kita dengan aneka kisah romantika kehidupan personal mereka, yang membuat banyak dari kita ‘jatuh hati’ sekaligus berempati terhadap perjalanan hidup mereka, dari perjalanan panjang mengais remah-remah kehidupan demi menegakkan jati diri. Soal Michael Jackson, kita telah membaca sejarah perjuangannya yang panjang. Namun fenomena popularitas Mbah Surip : dari bukan siapa-siapa menjadi orang paling ternama,- cukup mengaggetkan banyak orang. Lagunya; Tak Gendong, mendadak jadi fenomena terkini dalam blantika musik pop kita.Selain muncul di berbagai radio siaran, lagu ini juga berjaya di kanal berbagai TV swasta, bahkan terdengar di puluhan ribu ponsel sebagai nada sambung pribadi yang larisnya menandingi lagu milik grup musik pop yang paling beken sekalipun.

Tenarnya lagu ini dalam sudut pandang kajian budaya pop, sebenarnya wajar terjadi. Lirik lagunya, bila dicermati, biasa saja. Malah lirik lagu ini ( seperti lirik lagu ciptaan Mbah surip lainnya ) cenderung naïf. Namun lagu ini muncul di saat yang tepat. Saat blantika musik Indonesia berada dalam stagnasi akibat dominasi lagu pop tiga jurus, dan situasi sosial-politik kita yang dilanda gaduh riuh berbagai isu kampanye Pemilihan Presiden. “ Daripada pusing soal adu hebat kampanye, mending download lagunya Mbah Surip, “ kata seorang teman tentang keputusannya untuk memilih lagu Mbah Surip sebagai nada dering ponselnya.

Yang berlaku, sebenarnya juga masih dalam rumus abadi budaya pop. Ketika semua orang jemu pada kondisi yang ada, maka sesuatu yang baru dan memikat, apa pun bentuknya, yang bisa membuat orang melupakan kejenuhannya, segera disambar sebagai alternatif yang baru. Tak perduli lagunya cuma begitu saja, aransemennya tiga jurus, atau liriknya sekedar bla bla bla. Lagu Mbah Surip masih mendingan, masih terasa sebagai kalimat, Lirik lagu yang dibawakan Benyamin S hanya mengulang kata : “Begini ni nini, Begitu tu tu tu, terus menerus hingga lagu selesai. Lagu rock’n’roll sebuah grup di AS malah hanya mendendangkan berbagai model suara tawa.


Antitesa kemewahan

Tiga dasawarsa silam, hanya para bintang kondang saja yang layak disebut selebriti. Kini mereka ada di mana-mana, para presenter, pengacara, para janda, bahkan pembunuh pun ikut nongol sebagai selebriti. Jill Neimark dalam The Culture of Celebrity (Psychology Today, Juni 2004), menyebutkan bahwa sifat kemashuran telah berubah di era modern. Pernyataan bahwa selebritis modern dirangkai dari apa yang disebut sebagai rekadaya citra yang direkayasa dan dipasarkan secara danggih dan meluas ('images marketed, sold, and disseminated') menjadi kiat yang diterapkan di mana-mana, Kini kita menyaksikan, bagaimana teknologi komunikasi menjelmakan kemashuran secara spontan, sekaligus gampang terlupakan. Selebriti di era informasi ini gampang ditemukan dan begitu mudah pula terbuang, sedikit banyak adalah karena dalam kehidupan sehari-hari, kita berhadapan dengan pencitraan media massa (media images)

Pada kisah para selebriti di Amerika, Michael Jackson misalnya, selalu memberi jalan masuk bagi mitos pendewaan, namun sekaligus hasrat akan kebaikan dan keburukan, hasrat pengejaran kepuasan hidup sekaligus penghukumannya. bagi imajinasi kita tak saja untuk mendewakan merreka, Di sana, selebriti dicetak seperti roti, sudah menjadi pelengkap kebutuhan sehari-hari. Di sana setiap tahun selalu saja ada orang yang disebut sebagai lelaki terseksi (Sexiest Man Alive), dan ini menjadi produk rutin yang silih berganti.

Yang terjadi dalam kehidupan Mbah Surip justru kebalikan dari semua ini. Lelaki sederhana ini nampak menjalani kehidupan kesenimannya sebagai sebuah takdir. Lebih menurutkan kata hati daripada buaian mimpi menjadi selebriti. Sikap Mbah Surip dan pandangan hidupnya yang naif - yang sering disalahpahami sebagai ketololan – diam-diam telah menyodok keangguhan para selebritis instant. Bila diajak manggung, dia selalu mau, tak peduli dibayar berapa pun. "Yang penting pulang diamplopin, mau isinya berapa, dia nggak peduli, sing penting nyanyi," katanya dalam sebuah wawancara di sebuah TV swasta kita.

Setelah lagunya meledak hebat di pasaran, dan Mbah Surip kebanjiran rejeki milyaran rupiah, sikap lugunya tak berubah. Saat ditanya wartawan, uangnya mau dibelikan apa, Mbah surip menjawab, "Mbah belum tahu uangnya mau dibelikan apa. Tetapi Mbah ingin pesan kopi satu milyar dan juga beli gula satu milyar.” Jawaban yang terkesan sekenanya ini cukup absurd, terurama bagi penalaran budaya konsumtif kita. Saat orang lain bermimpi membeli rumah megah, mobil wewah bila ada rejeki,- Mbah Surip malah hanya ingin membeli gula dan kopi, Sebuah antitesa bagi kemewahan kemewahan gaya hidup orang beken di negeri ini, di nana citra dianggap segala-galanya. Kita masih ingat, bagaimana Johnny Indo memutuskan menjadi perampok demi haya hidup sleberitisnya, agar bisa selalubermobil dan berpakaian mewah.

Joshua Gamson dalam Claims to Fame: Celebrity in Contemporary America (University of California Press, 2003), juga menyebutkan bahwa motovasi utama para selebriti Amerika setelah mereka tenar, adalah meraih kekayaan sebanyak-banyaknya, lalu menikmati hidup di hari tua selayaknya sorga dunia. Mbah Surip sendiri mungkin ‘dihampiri’ fenomena ini. Misalnya dia dibujuk sebuah manajemen artis untuk mengikat kontrak . Seperti selebritis lainnya, Mbah Surip sudah menjadi tambang uang, kenaifan Mbah Surip harus dieksplorasi terus-menerus. Dalam album terbarunya nanti, Mbah Surip bahkan akan diduetkan dengan Manohara Pinot. Sebuah sensasi ganda, yang dalam hitungan kalkulator industri budaya pop, pasti mendatangkan keuntungan komersial yang melimpah.Tetapi Mbah Surip keburu dijemput Tuhan. Sehingga potensi artistiknya yang langka ini terselamatkan dari belitan tentakel industri budaya pop yang haus keuntungan.

Mungkin hal ini yang membedakan nasib Mbah Surip dengan Michael Jackson. Mbah Surip menghadap Tuhan dengan segenap kepolosan. Selamat jalan, Mbah Surip. Tuhan akan menyambutmu dengan sebuah senyuman.


- Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -

Musik Islami di Millenium Ini


Oleh : Heru Emka


planetmusikheruemka.blogspot.com


Di bulan Ramadhan ini, musik Islami kembali naik daun. Tapi apakah yang singgah dalam pikiran kita saat mendengar istilah musik Islami ? Irama gambus, kasidah, cuma sekedar rebana, atau instrumen band modern ? Pertanyaan ini terasa menggigit justru pada saat musik Islami memasuki milenium kedua, yang tak ubahnya sebuah jalan raya dengan lalu-lintas kebudayaan dan berbagtai persimpangan dengan segenap kemungkinan. Contohnya album Gigi yang dimaklumkan sebagai musik Islami. Dalam album Meraih Kemenangan, misalnya, GIGI menampilkan beberapa tembang yang dikenal bernuansa religius seperti lagu Tuhan, Rindu Rasul ( keduanya ciptaan Sam Bimbo dan Taufiq Ismail)

Lagu GIGI di album ini berbeda dari pola lagu Islami lainnya. Lagu Tuhan yang aslinya syahdu, diaransir dalam irama rock, lengkap dengan distorsi gitar dengan isian brass section. Pada lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata, GIGI memadukan harmoni rock yang digabung dengan isian rap. Pada lagu Lailatul Qadar, riff gitar dan drum dipacu dalam dengan tempo cepat, dengan loop – loop yang membalut lengkingan vokal Armand Maulana. Pada album berikutnya, GIGI malah mengangkat lagu Perdamaian, yang sebelumnya dikenal sebagai lagu kasidah yang dibawakan oleh grup Nasyida Ria dari Semarang.

Jauh sebelumnya, budaya Islam memiliki tradisi musik yang tinggi selama berabad-abad. Perjalanan musik Islami di negeri kita pun sudah melewatkan berbagai fase dan bentuk atau gaya, dari waktu ke waktu. Hingga akhir tahun ’60-an, musik Islami mewarnai blantika musik Indonesia adalah berbagai orkes gambus, dan lagu-lagu mereka hanya diputar pada segmentasi tertentu, misalnya di radio dakwah seperti PTDI, atau di RRI menjelang atau setelah siaran kotbah Jumat.


Dari gambus ke Bimbo

Yang beken ( punya album rekaman ) waktu itu adalah Orkes Gambus Al Fata pimpinan A. Rachmat dengan lagu-lagu yang judulnya berbahasa Arab seperti Hamawi Yaa Mismis, Ala Asfuri, dan sebagainya. Grup lain yang beken adalah Orkes Rebana Rofiqoch, dengan penyanyinya Rofiqoch Darto Wahab. Mereka dikenal dengan lagu hit seperti Guluban Mantho’a, Milkhub Winta Waana dan sebagainya. Lagu-lagu seperti inilah yang mungkin dianggap sebagai mainstream musik Islami.

Namun di pertengahan tahun ’70-an, mendadak Bimbo menyodorkan musik Islami yang lebih merangkul masyarakat luas dengan harmoni lagu pop yang indah dan gampang dicerna. Super hit mereka; lagu Rindu Rasul yang tetap ngetop hingga saat ini,-, dimainkan dalam komposisi gitar akustik dengan melodi tiupan seruling nan manis, dengan lirik puitis garapan penyair Taufik Ismail.

Lagu kasidah pop ala Bimbo ini tak saja membuat kaum muda di perkotaan jadi lebih menghayati tembang Islami, namun juga memacu tren musik saat itu. Grup musik lainnya seperti Koes Plus, D’ Loyd, Favorite’s Grup ikut mencipta lagu kasidah pop ala Bimbo. Sam Bimbo sendiri menuturkan bila waktu itu sekelompok Muslim yang justru memprotesnya, karena memainkan gitar dan suling, yang dianggap diharamkan dalam musik Islam.

“ Sejak tahun 1972 - 1973, kami memang mencoba menyajikan musik Islami yang baik dan cocok untuk jaman sekarang ini. Sebelum itu, suasana musik bulan Ramadan yang Islami tidak ada. Di jalur radio, kosong, yang ada lagu-lagu barat dan lagu pop biasa. Ternyata reaksi yang muncul luar biasa, disamping yang memuji ada juga yang protes dan menyebut musik kami setan, semua kami terima,” tutur Sam mengenang masa itu.

Anggapan bahwa musik Islami hanya boleh dimainkan dengan rebana dan mengharamkan alat musik lain bisa jadi hanya merupakan tafsir dari sebagian ulama tentang estetika musik.Kalau dicermati benar, berbagai grup kasidah di pedesaan dan kota-kota kecil malah menyertakan biola , yang jelas alat musik Barat. Sunan Kalijaga dan Wali Songo malah menggunakan gamelan Jawa (yang juga tak dikenal dalam budaya Arab) sebagai media syiar agama Islam, yang kini diikuti oleh Emha Ainun Najib dengan grup Gamelan Kiai Kanjeng.

Kita tentu tak akan meragukan kadar keIslaman Bimbo ( yang sekarang malah menjadi ikon musik Islami di negeri ini) atau Emha. Bahkan Sunan Kalijaga. Dalam The Rise of Music in the Ancient World East and West (New York, W.W. Norton, 1973 ) etnomusikolog Curt Sachs juga mengatakan , “Musik Arab berkembang bersamaan dengan tumbuhnya pusat kebudayaan di Suriah di bawah dinasti Umayyah (661 – 750 Masehi ) sebagai paduan musik etnis Suriah, Mesopotamia, Byzantium, dan Persia (Iran). Unsur lokal Arab yang kuat seperti melodi pengajian ayat suci Al Qur’an dan bahasa asli negara yang tunduk pada Khalifah Islam tak saja menghasilkan musik dengan teknik penampilan baru, namun juga aspek intonasi baru,bahkan alat musik baru.”

Intelektual musik Arab yang paling mashur adalah Abu Nasr al-Farabi (wafat pada tahun 950), dengan karya legendarisnya; Kitab al-Musiqa al-Kabir, yang dianggap sebagai buku induk tentang musik. Di buku ini Farabi tak saja membahas soal segi sains bunyi, namun juga factor intervalnya, tetrachord, berbagai jenis oktaf, alat musik, komposisi dan sebagainya. Al-Farabi juga menambahkan satu dawai pada lut (al-'ud , sejenis gitar) yang memadu prinsip dasar nada diatonis yang disusun ilmuwan Yunani; Pythagoreas untuk menjangkau nada diatonis

Pada jaman keemasan musik Arab ini, di sana terdapat beragam alat musik, seperti al-'ud (alat musik petik), naqqarat (sejenis tambur) rabab (alat musik gesek) dan al-nafir (terompet ). Bila demikian, bagaimana mungkin lebih dari seribu tahun kemudian, di milenium ini, alat musik Islam malah dikebiri, hanya boleh menampilkan rebana. Padahal syiar Islam harus bisa tampil lebih beragam dan kaya warna.

Kini selain GIGI dan Bimbu, da juga nama beken lainnya di jalur musik Islami seperti Opick, Sulis dan Hadad Alwi, di samping beberapa nama baru yang mulai mengekspresikan diri di jalur musik ini seperti Afgan, dan beberapa bintang muda lainnya, seperti Asmirandah, Revalina S. Temat, Intan Nuraini dan Melanie Putria berkolaborasi dalam sebuah album ramadhan.. Semuanya menambah semarak blantika tembang Islami, yang mulai marak di bulan Ramadhan ini.



Sabtu, 25 Juli 2009

Musik Etnis


Maestro Gending Semarangan


Oleh : Heru Emka



Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (gagrak anyar). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan.

Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang macapatan tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat.

Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an.

Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending gagrak anyar ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang sigrak (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.

Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.

Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang’.

Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain pasemon. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan pasemon dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan.

Musikolog Judith Becker dalam bukunya; Traditional Music in Modern Java ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (pangrawit) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.

Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan.

Heru Emka, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.

Komentar

      1. Mungkin tema ini tidak begitu menarik, tapi cobalah dikaji lebih jauh.
        Walaupun secara pribadi sy tak suka musik dangdut, tapi saya prihatin melihat kelesuan musik dangdut akhir2 ini. Dan biarpun akar musik ini berasal dari India, namun dangdut Indonesia tetap berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri yang cukup menjadi ikon musik khas Indonesia.
        Dalam hampir 10 tahun terakhir musik dangdut dilanda kelesuan, para pencipta lagu seakan mandul, bahkan para musisi dangdut baik amatir maupun prof 'lebih senang' memakai lirik lagu-lagu pop dengan aransmen dangdut. Hal ini terlihat dari maraknya dangdut panggung yang menggunakan lirik lagu-lagu pop. Sungguh memprihatinkan.

      2. = Suparmin Sp _


Rabu, 22 Juli 2009

Fenomena


Mbah Surip dan Fenomena Tembang Instan

Oleh : Heru Emka

planetmusikheruemka.blogspot.com


Tak gendonng, kemana-mana, Tak gendong, kemana-mana, Rnak toh, daripada naik taksi, Tak gendonng, kemana-mana….”


Lagu yang dinyanyikan oleh Mbah Surip ini ( pernah direkam dalam sebuah albumnya, di tahun 2003) mendadak jadi fenomena terkini dalam blantika musik pop kita.Selain muncul di berbagai radio siaran, lagu ini juga berjaya di kanal siar berbagai TV swasta, bahkan terdengar di puluhan ribu ponsel sebagai nada sambung pribadi yang larisnya menandingi lagu milik grup musik pop yang paling beken sekalipun.

Melejitnya lagu yang sebenarnya digarap dengan pas-pasan ini ( istilah lain yang sok beken; minimalis ) dalam sudut pandang kajian budaya pop, sebenarnya tak begitu mengherankan. Lirik lagunya, bila dicermati, biasa saja, tak begitu jenaka. Malah lirik lagu ini ( seperti lirik lagu ciptaan Mbah surip lainnya ) cenderung naïf. Namun lagu ini muncul di saat yang tepat. Saat blantika musik Indonesia berada dalam stagnasi akibat dominasi lagu pop tiga jurus, dan siruasi sosial-politik kita dilanda gaduh riuh simpang siur berbagai isu Pemilihan Presiden.

“ Daripada pusing soal adu hebat kampanye, mending download lagunya Mbah Surip, “ kata seorang teman tentang keputusannya untuk memilih memperdengarkan lagu Mbah Surip sebagai nada dering ponselnya. Susanna, teman saya lainnya, menjelaskan rasionalitas pilihannya, “ Aku senang, lagunya lucu dan tampil beda.

Yang berlaku, sebenarnya juga masih dalam aturan rumus abadi budaya pop. Ketika semua orang jemu pada kondisi yang ada, maka sesuatu yang baru dan memikat, apa pun bentuknya, yang bisa membuat orang melupakan kejenuhannya, segera disambar sebagaisebuah alternatif yang baru. Tak perduli lagunya cuma begitu saja, aransemennya tiga jurus, atau liriknya sekedar bla bla bla. Mbah Surip masih mendingan, liriknya masih terasa sebagai sebuah kalimat, Lirik lagu yang pernah dibawakan Benyamin S (yang berduet dengan Ida Royani ) malah hanya terdiri dari dua kata : “ Begini, begitu “, terus menerus kata ini diulang-ulang dalam berbagai aksen, hingga lagu selesai. Sebuah lagu rock’n’roll Barat, yang (kalau tak salah ) berjudul Haa…Haa…, malah mendendangkan berbagai model suara tawa.

Tak heran bila Mbah Surip, dalam salah satu album kasetnya ( diam-diam si Mbah berpenampilan nyentrik ini sudah merekam lima album : Ijo Royo-royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru (2004), ada lagu Bangun tidur, yang liriknya antara lain : “ Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Haaa…..Haaaa….Haaa.”

Pergumulan panjang

Akankah gaya musik yang naïf dan aksi panggung Mbah Surio yang ‘katrok’ ini juga memidu epigon-epigonnya ? Entahlah, karena kita selalu bisa melihat berbagai kisah pengulangan dan peniruan di balik kisah sukses lagu-lagu instan seperti ini. Misalnya, di akhir tahun -70-an, saat grup lawak Warkop muncul bersama Orke Pancaran Sinar Petromak (PSP ), muncul pula berbagai grup dngdut yang anggotanya terdiri dari para mahasiswa, yang memainkan lagu serupa ( lagu dangdut yang dibawakan dalam gaya ngepop dan jenaka ). Begitu pula saat Arie Wibowo dengan grupnya; Billbroad, melejit dengan lagu Madu dan Racun, beredar puluhan album kaset yang berbeda menyajikan lagu-lagu dalam tema yang serupa.

Puncaknya adalah saat Johnny Iskandar bersama grup orkes Pengantar Minum Racun (PMR) secara tak terduga meledakkan lagu dangdut Judul Judulan, dengan konsep dangdut jenaka, muncullah puluhan album dalam konsep serupa. Booming lagu ‘gelo’ (sinting) seperti ini malah sempat merebak setahun penuh dan menghajar pangsa pasar lagu pop kreatif Indonesia. Walau dalam industri musik pop, peran cukong dalam menentukan trend an jalur peredaran musik pop amat kuat, kadang tetap saja terjadi anomaly ; sebuah lagu yang Tanpa terduga melejit di pasaran sebagai sebuah lagu hit instan.

Walau lagu Yak Gendong-nya Mbah Surip melejit secara instan, perjalanan hidup Mbah Surip di blantika musik kita tidaklah instan, malah penuh dengan pergumulan dan perjuangan yang panjang. Kakek berambut gimbal ala Bob Marley ini ( yang setiap tiga hari sekali dicuci dengan sabun detergent ) biasa menyanyi dengan gaya cuek, dengan beragam gaya vokal. Dari senandung bluesy, gaya scat singing jazz, hingga teriakan parau menggeledek ala heavy metal. Tak heran bila di kalangan para pengamen dan musisi muda, nama Mbah Surip dikenal akrab.

Puluhan tahun menggelandang di dunia seni dan hidup sebagai pengamen

Menjelmakan Mbah Surip sebagai pribadi dengan riwayat yang kaya warna. Sebelum ‘menggelandang’ dj dunia seni, misalnya, dia pernah bekerja di perusahaan pengeboran minyak ( tahun 1975 hingga 1986) yang membuatnya banyak uang, hingga dia sempat ngelencer di Texas, Brunai, Singapura. Sebaliknya dia juga pernah menghabiskan dua celana saat naik sepeda dari Mojokerto menuju Jakarta di akhir tahun 80-an. Tujuannya ingin menantang panco petinju Ellias Pical. Sebuah niat yang ternyata tak kesampaian.

Akhirnya Mbah Surip nyasar di Bulungan. Menggeluti berbagai jenis kesenian, bermain teater pernah dicoba, melukis pun pernah dilakukan, sebelum memutuskan untuk menyanyi dan mengamen sehari-hari. Kreatifitasnya yang menyala-nyala tak saja menghasilkan ratusan lagu yang diciptakan di sembarang tempat, namun juga berbagai idiom yang aneh, salah satunya adalah ‘I Love You Full’.

Mbah Surip merasa biasa saja bila laginya ngrtop. Dia anggap itu sebagai bonus dari Tuhan, karena dia bahkan tak pernah berharap bila laginya direkam. “ Mencipta lagu bagi saya adalah kesenangan sehari-hari, sama seperti merokok dan minum kopi, “ katanya , yang juga mengaku tak risau walau tak pumua rumah. Bagi Mbah Surip, asal di kantong ada uang untuk makan atau naik ojek, cukuplah, karena “ banyak teman, di mana-mana ada teman, saya bisa numpang tidur di mana saja. Vahkan di pos kamling pun bisa,” katanya pula.

Oke lah. U love you full, Mbah Surip !


Senin, 06 Juli 2009

Kolaborasi Garin Nugroho dan Franky Sahilatua


Kisah tentang Panci dan Pancasila


Oleh : Heru Emka


Malam baru bermula ketika sekitar seratusan penonton berkumpul di sekitar panggung yang sederhana namun terasa artistik ( berkat kontur ‘jurang’ yang diubah menjadi teater alami dengan view melingkar) di Desa Seni Lerep. Di tengah panggung, sutradara Garin Nugroho duduk bersebelahan dengan penyanyi Franky Sahilatua, memulai pentas kolaborasi yang memadukan penuturan berbagai kisah inspiratif berselang-seling dengan tembang balada Franky, yang oleh Garin disebutkan sebagai ‘ niat untuk meneruskan tradisi pelipur lara’.

Gaduh riuh situasi politik seperti yang terjadi saat inilah yang menumbuhkan gagasan Garin Nugroho untuk menuturkan apa yang disebutnya sebagai Dongeng Pancasila, sebagai hasrat untuk menumbuhkan kesadaran dan pemikiran kritis masyarakat, di saat ruang bersama bagi suatu dialog sosial (istilah Garin ‘civic forum’) mulai memudar. Berbagai isu dan kepentingan golongan yang terasa menggumpal sebagai wacana yang saling beradu pengaruh, dicemaskan mengikis rasa solidaritas yang sebelumnya menjadi tali pengikat komunal masyarakat. Maka mulailah Franky berdendang dengan iringan gitar akustiknya, dilanjutkan oleh penuturan Garin tentang berbagai topic yang terentang panjang. Dari kisah tentang Mussolini yang beralih peran dari seorang pahlawan menjadi dictator yang ditolak rakyatnya, hingga kisah pedih tentang ironi Papua dan Taman Nasional Wasur sebagai ‘sorga yang hilang’.

Dari Dongeng Pancasila inilah wacana tentang nilai kebangsaan dikomunikasikan berdasarkan visi, pengalaman, emosi, empati dan sudut pandang keduanya terhadap berbagai problema yang sedang terjadi di masyarakat, meluncur dalam kisah sederhana tentang Soekarno, apel Malang, Marcopollo, Haji Agus Salim, Mussolini dan Rahim Perdamaian.

Garin berada di jalur yang benar saat dia melakukan dialog kebudayaan sebagai peristiwa yang terjadi dan dialami dalam kehidupan kita sehari-hari, jauh dari wacana kebudayaan sebagai konsepsi estetis dan elitis. Dengan gaya penuturan yang lembut, Garin berhasil merajut simpul-simpul inspirasi dari rangkaian narasi yang membingkai berbagai tema dan sudut pandang tentang religiusitas, patriotisme, solidaritas dan semangat untuk tumbuh dalam kebersamaan, yang secara prinsip telah diamanatkan dalam Pancasila. Saat Garin menggandeng Franky Sahilatua untuk mendanpinginya berkeliling pentas di sepuluh kota ( Ende, Solo, Semarang, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Makassar dan Medan ),- terjadilah sebuah jembatan yang terentang lurus bagi pemahaman atas semuanya sebagai sebuah makna yang terserap secara individual bagi para pemirsanya.

Penutur kata sejak semula bagai sepasang pengantin dengan musik pengiringnya. Di sisi lain, musik memang memiliki kecenderungan politis bila sudah menyandang lirik yang sepadan dengan hasrat teks yang politis pula. Karena itulah persekutuan narasi-musik cenderung lebih aksesibel, dengan abstraksi perenungan idiomatik yang akrab. Gaya dan idiom musik seperti ini yang cenderung untuk tampil sebagai sebuah model dari bentuk interaksi sosial yang ideal. Maka duet Franky dan Garin tak ubahnya persekutuan antara daya penghibur seorang troubadour dengan kalimat bernas seorang cendekia seperti Abunawas.

Gerakan sosial baru

Tradisi troubadour (penyanyi keliling) yang bermula di Eropa pada abad kesebelas , dianggap berjasa menyuntikkan kesadaran yang serta merta akan suasana sosial yang diwacanakan melalui gaya tutur dan dendang yang plastis, menyimpan sindiran dan bentuk pasemon yang tersamar, untuk menembus benteng kekuasaan mutlak penguasa,- kadang dalam bentuk lirik berbungkus teka-teki, lelucon, nasehat moral atau bahkan kisah dari dongeng fantasi - yang untuk menyamarkan realitas yang akan disampaikan - seolah-olah bermuara dari negeri antah berantah. Tak heran bila Dante Alighieri dalam De vulgari eloquentia, menjabarkan lirik lagu para troubadour ini sebagai fictio rethorica musicaque poita: lirik yang retorik, puitis sekaligus fiktif.

Di Amerika, misalnya, lagu rakyat selama ini memiliki tradisi menyuarakan ketidakpuasan politik, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Dalam sejarah budaya pop, hal ini mengacu pada era tahun ’50-an, ketika Woodie Guthrie ngamen ke berbagai penjuru AS, menyanyikan lagunya yang berjudul This Land is Your Land ( kini dianggap sebagai lagu protes sosial paling inspiratif). Hasilnya tak saja menimbulkan kesadaran rakyat jelata akan ketimpangan sosial yang terjadi di Era Depresi, namun juga ‘melahirkan’ seorang Bob Dylan, yang bertekad untuk menjadi ‘penyambung lidah rakyat’, menyanyikan lagu-lagu protes di Greenwich Village. Itulah titik tolak kemashuran Bob Dylan yang kemudian dianggap sebagai ‘suara generasinya’ sebagai pemula gerakan anti perang.

Franky Sahilatua sendiri adalah seniman yang sejak awal karirnya memiliki keterikatan pada nuansa sosial yang ada di masyarakat kita. Sebagai penyanyi lagu balada, Franky tak saja bernyanyi tentang musim bunga, atau nostalgia pedih seorang ibu yang kehilangan anak gadisnya, namun dia juga berdendang tentang kaum marginal; kehidupan perempuan pengumpul daun jati, orang-orang pinggiran yang terus bertahan di tengah berbagai ketimpangan dan ketidak adilan, seperti rakyat Papua yang mengais rejeki sebagai penjual buah piang, di bumi mereka yang kaya raya. Maka, dibalik suaranya yang mengalun lembut dan denting gitarnya yang bening, Franky bagaikan magma sosial yang tersamarkan. Dia tak saja mengalir deras dengan lagunya Di Bawah Tiang Bendera ( yang dicipta berdasarkan peristiwa 27 Juli ), namun juga terasa menonjok saat menyanyikan lagu Papua. Lagu yang menurut Garin, begitu dimuliakan di Papua, diputar di setiap gereja tak ubahnya panggilan azan di mesjid-mesjid kita ini begitu menggugah, serasa bagaikan orasi I Have a Dream-nya Martin Luther King Jr.

Pentas keliling Dongeng Pancasila ini bahkan berpeluang mendorong terjadinya gerakan sosial baru. Bila seorang Woodie Guthrie mengilhami seorang Bob Dylan, maka duo Garin-Franky ini niscaya akan memompakan lebih banyak keyakinan bagi kaum muda di seantero wilayah Nusantara, bila dilakukan lebih intens, dengan merajut jaringan kerja dan membina bentuk-bentuk bagi apresiasi yang luas lagi. Bagi saya, materi yang terkandung dalam Dongeng Pancasila terlalu sayang bila hanya berlalu sebagai sebuah peristiwa kesenian semata. Lewat salah satu kisah dalam Dongeng Pancasila misalnya, masyarakat akan meninjau ulang makna dan arti kata pahlawan, bahkan untuk apa sih sebenarnya kita merdeka kalau rakyat semakin menangis dalam kemiskinan. Pemimpin seperti apakah yang kita butuhkan saat ini, karena menurut Garin, pemimpun yang tak lahir dari hati nurani rakyatnya bagaikan arwah penasaran. Tak pernah sampai pada tujuan.

Menjelang akhir, Garin berkisah tentang sebuah daerah di pedesaan Jawa Tengah, di mana para penduduknya hidup sebagai perajin yang membuat lambang Garuda Pancasila. Kini pesanan lambang negara dan bangsa kita itu tak pernah muncul, sehingga para perajin mengecor lagi semua lambang Garuda Pancasila yang tersisa dan mendaur ulang menjadi panci, untuk menopang hidup mereka sehari-hari. Bukankah kisah ini mencerminkan ironi, ketika ideologi kebangsaan ‘dicairkan’ dan menjadi barang dagangan dan obyek keuntungan semata ?

- Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -

Song Stories 1


Smells Like Teen Spirit

Nirvana Kurt Cobain. Album Nevermind” - 1991


Oleh : Heru Emka

Load up on guns and bring your friends
It's fun to lose and to pretend
She's over bored and self assured
Oh no, I know a dirty word

Hello, hello, hello, how low?
(3 x)
Hello, hello, hello!

With the lights out, it's less dangerous
Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A mulatto. An albino. A mosquito. My libido
Yay! Yay! Yay!

I'm worse at what I do best
And for this gift I feel blessed
Our little group has always been
And always will until the end

With the lights out, it's less dangerous
Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A mulatto. An albino. A mosquito. My libido
Yay! Yay! Yay!

And I forget just why I taste
Oh yeah, I guess it makes me smile
I found it hard, it's hard to find
Oh well, whatever, nevermind

Hello, hello, hello, how low?
(3 x)
Hello, hello, hello!

With the lights out, it's less dangerous
Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A mulatto. An albino. A mosquito. My libido, A denial!
(9x)

Inilah lagu alternative pertama yang melejit jadi hit, sejak istilah alternative muncul sebagai sebutan genre musik yang baru, di akhir tahun ’80-an. Gaya musik ini lantas dikenal dengan istilah yang lebih khas, "grunge",- yang ditandai dengan gayanya yang ugal-ugalann (craze), bunyi gitar yang keras, serta lirik lagu yang sinis dan gusar.

Kurt Cobain menuliskan lagu ini dalam sebuah jam-session, sebelum bandnya; Nirvana, beken.Waktu itu Kurt Cobain masih pacaran dengan vokalis band cewek Bikini; Tobi Vail. Adalah Kathleen Hanna, personil Bikini Kill lainnya, yang memberi ide Cobain ‘tuk menuliskan lagu ini. Suatu malam, setelah minum-minum bersama, mereka jalan-jalan dan mencoretkan grafiti di jalanan seputar kota Seattle. Hanna kemudian menyemprotkan cat di dinding kamar mandi mereka,- menuliskan kalimat : "Kurt Smells Like Teen Spirit". Teen Spirit ini adalah merek deodoran remaja yang sering dipakai Tobi Vail.

Kurt Cobain sama sekali bukan cowok modis, sehingga dia pun tak menyadari bila Teen Spirit adalah merek farfum. Dia mengira bila kata Teen Spirit hanyalah salah satu idiom yang digunakan Hanna untuk menyemangati jiwa muda mereka. Tentu saja penjualan parfum remaja itu jadi melonjak setelah lagu " Smells Like Teen Spirit" ini meledak jadi superhit., walau sebenarnya tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lirik lagunya yang mengkisahkan semangat pemberontakan anak muda. Sebenarnya semua Nirvana membenci video klip. Namun akhirnya mereka setuju untuk berkompromi dengan pasar bila video klip itu dibuat sesuai konsep mereka, yang oleh Cobain disebut sebagai "Pep Rally from Hell." Dan para pemandu sorak yang muncul di sana adalah penari stripper.

Dua hari sebelum syuting video “Smells Like Teen Spirit “, Nirvana manggung di The Roxy Theater, Los Angeles, selama dua hari. Dari situ, Nirvana mengundang para penonton untuk datang dan ikut syuting videoklip perdana mereka, yang pengambilan gambarnya berlangsung lancar selama 8 jam. Adegan dalam video klip itu sendiri diilhami adegan dalam film “Rock And Roll High School" yang menampilkan lagu the Ramones. Adegan ketika personil Nirvana dan pan merka menghancurkan set, di akhir video, merupakan kenyataan yang sebenarnya. Nirvana dan para remaja itu mulai ‘tinggi’ setelah syuting nonstop selama 8 jam, dan seorang penggemar berkata bila sebaiknya mereka menghancurkan saja set dan property yang dipakai syuting. Produser bilang; silakan,- dan mereka pun melampiaskan semua kejengkelan yang ada.

Sebagaimana konsep dasar musik ‘grunge’ yang anti kemapanan, vedio klip “ Smells Like Teen Spirit” ini juga merupakan bentuk dari konsep anti-video klip. Kurt Cobain menolak sepenuhnya konsep ‘keindahan’ dalam video klip itu, misalnya dia merubah figure para pemandu sorak yang semula para yang ramping dan seksi, dengan menampilklan para pemandu sorak yang bertubuh gemuk dan secara fisik tidak menarik. Sebenarnya sutradaranya tak senang dengan gagasan aneh ini. Tapi daripada mereka batal syuting, akhirnya si sutradara pun mengalah, termasuk membiarkan para gadis gemuk pemandu sorak itu tampil dengan ‘tato’ di lengan mereka dan memakai kaos yang melambangkan anarki. Tadinya MTV menolak menayangkan ‘video jelek’ ini. Namun setelah lagunya meledak, mereka malah sering menampilkan video klip Nirvana ini.

Begitu bekennya lagu “ Smells Like Teen Spirit” , sehingga Weird Al Yankovic merekam versi parodinya, dengan judul "Smells Like Nirvana." Album “Nevermind”, sendiri tampil dengan cover yang memikat : foto bayi sedang berenang mengejar lembaran dolar. Idenya bermula saat Cobain dan Krist Novoselic (basis Nirvana) melihat film proses kelahiran di dalam air. Mereka menyewa fotografer untuk memotret adegan bayi yang dilatih berenang. Bayi yang menjadi menjadi model sampul album ini bernama Spencer Elden (baru berumur 4 bulan waktu itu). Walau "Smells Like Nirvana." menjadi hit Nirvana paling kondang, entah lagu ini kenapa jarang dimainkan di berbagai konser mereka.


Regenerasi dalam Musik Jazz Kita


Regenerasi dalam Musik Jazz Kita

Oleh : Heru Emka

Jazz adalah jenis musik yang liat. Dan pengertian liat ini bisa ditafsirkan dalam dua makna. Yang pertama, jazz sering dianggap liat dalam aanggapan sebagai musik yang ‘sukar dicerna’. Bila musik pop cenderung bisa langsung dipahami dan dihayati secara instan, jazz membutuhkan sedikit apresiasi tersendiri, karena pada dasarnya jazz memang mengembangkan diri atas dasar improvisasi, yang membuat setiap lagu jazz selalu hadir dalam bentuk dan ekspresi yang berbeda.


Sebuah lagu, sebut saja “Sepanjang Jalan Kenangan” (karya A. Riyanto), bila akan menjadi lima lagu dalam nuansa berbeda, bila dimainkan oleh lima orang musisi jazz. Improvisasi dan kebebasan untuk menafsir komposisi musik inilah yang membuat musisi mnyejikan lagu dengan sentuhan yang amat personal. Tak heran bila sebuah aransemen lagu ala jazz jadi amat berbeda dengan versi aslinya. Ini yang menimbulkan salah paham seakan jazz selalu merumitkan sebuah lagu. Atau bahkan ‘merusak-nya.

Makna yang kedua, musik jazz liat karena selalu bisa tetap hidup dalam segala situasi. Atau menurut istilah yang sering dipakai di kalangan milis jazz ‘Musik jazz kagak ade matinye’. Dengan menyandang beban sejarah denga predikat sebagai jenis musik yang ‘sulit’, musik jazz tak memiliki pasar yang luas, walau ada masanya jenis musik ini mengalami masa booming tersendiri. Mengherankan juga melihat fakta musik jazz sebagai musik yang terpinggirkan, justru berhasil menginvasi beberapa jenis musik lain yang sudah mapan, seperti musik rock atau disko, sehingga muncul berbagai varian jazz yang baru, dari bossanova, jazz rock, fusion (paduan jazz-rock dan disko) hingga acid jazz sebagai bentuk merasuknya sukma jazz ke dalam bentuk musik industrial yang marak di arena dugem.

Kembali pada dasawarsa pertama di milenium baru, yang dianggap sebagai masa paceklik bagi musik jazz, ditandai dengan menyusutnya pasar bagi jenis musik ini, serta jumlah angka produksi yang menurun tajam. Bahkan sebagai ‘genderang perang’ yang menyerang eksistensi musik jazz, muncul statemen yang mengejutkan dari Eric nisenson. Pengamat musik ini dalam artikelnya; “Blue : The Murder of Jazz “ (Billboard, Januari 2007) menyebutkan bahwa “ Jazz telah mati” (Jazz is dead), antara lain menyebutkan bila penjualan dan produksi album musik jazz jumlah hanya sekitar 3 persen dibanding album musik pop di sana.

Loncat pagar

Situasi terakhir musik jazz kita kurang lebih sama memprihatinkan, walau pun ada beberapa even jazz dengan skala cukup besar seperti Bali Jazz Festival atau Java Jazz Festival yang terselenggara dengan baik. Selain jumlah frekuensi pagelaran musik jazz yang menyempit, jumlah produksi album jazz pun menurun, sementara regenerasi musisi jazz kita terasa seret. Anggapan bahwa lahan musik jazz hanya tepat bagi idealisme musik semata, dan bukan lahan yang basah untuk mencari uang, tak saja menurunkan minat anak muda yang berniat menekuni jenis musik ini,- namun juga membuat para musisi yang sudah eksis terpaksa ‘loncat pagar’ untuk beralih ke musik pop, yang secara finansial memang lebih menguntungkan.

Padahal di tahun 1980-an, musik jazz sempat panen raya di Indonesia. Selain bermunculan grup baru yang dimotori oleh anak-anak muda yang memainkan musik jazz, jumlah produksi dan pagelaran jazz cukup padat frekuesinya. Tak saja di berbagai kampus dan kafe yang memang menjadi lahan alamiah bagi jenis musik ini, namun juga di berbagai venue yang menggelar pertunjukan secara komersial.

Di Semarang sendiri pernah tercatat beberapa moment jazz besar yang dipadati penonton, seperti penampilan grup Bhaskara dan Krakatau di Gedung Olah Raga Jawa Tengah (dulu) serta penampilan beberapa virtuoso jazz, dari Bill Saragih, Luluk Purwanto, hingga Bubi Chen di berbagai hall hotel berbintang di kota ini. Menjamur juga berbagai festival musik yang diikuti grup yang cukup bagus dari beberapa SMA favorit. Dari ajang seperti ini saja mencuat beberapa grup jazz remaja seperti DAC Band atau Kamadhatu di Semarang. Begitu juga di kota lainnya seperti Bandung dan Jakarta.

Dalam sebuah percakapan dengan jazzer Risya Arsad menjelang penampilannya di Semarang, beberapa tahun silam, pemain akordeon yang juga pemuka grup Simak Dialog ini mengeluhkan langkanya pemain muda jazz yang punya skill musik tinggi.” Mencari pemain kontra bas yang baik saja susahnya bukan kepalang. Basis muda yang baik seperti Anto Hoed saja malah telah lompat pagar, menyeberang ke musik pop,” ujarnya.

Untunglah, beberapa kelompok anak muda, seperti komunitas Simak Dialog, Komunitas Jazz Indonesia serta beberapa musisi seperti Indra Lesmana, Dwiki Darmawan, Tohpati dan Deviana Daudsjah rajun menggelar forum jazz dalam berbagai kesempatan, sehingga walaupun cukup tersendat, muncul juga regenerasi musik jazz kita. Beberapa nama baru kini bermunculan, seperti Indra Aziz Quintet, Imam Prass Quartet, Park Drive 6th Elements, Tomorrow People Ensemble dan beberapa lagi. Nama para solis seperti pianis Niat Juliarso, saksofonis Indra Aziz dan gitaris Wayan Balawan pun cukup menggembirakan. Di daerah juga mencuat beberapa vokalis kemudian cukup digemari seperti Peppy Kamadatu dan beberapa lagi.

Indra Aziz ( kelahiran Jakarta, 3 September 1978) misalnya, ternyata sama piawainya dalam bermusik dan berolah vokal. Cowok tambun yang piawai berdendang dalam beberapa gaya dan range vokal ini tak saja terdengar asyik melantunkan scat singing, namun juga menirukan berbagai bunyi alat musik seperti Al Jarreau. Menyanyi sejak bocah (di bimbing ibunya; Rosita Sanusi,- yang dikenal sebagai penyanyi, penari dan pelukis) Indra lalu bermain dram, karena mengagumi permainan dram Jelly Tobing. Di bangku SMP, Indra juga memainkan gitar, kibor dan bas listrik, walau tak pernah mempelajari alat musik tadi secara mendalam. Anehnya, menginjak masa SMA, Indra malahbergabung dengan grup paduan suara sekolah dan bermain gitar di band sekolah yang membawakan lagu-lagu pop-rock.

Baru setelah menginjak masa kuliahnya di Universitas Trisakti, Indra secara serius belajar jazz di Sekolah Musik Farabi, dan memainkan alto saxophone. Walau sudah pernah tampil daslam beberapa grup yang beragam ( termasuk grup musik ska), penampilan profesional Indra Aziz yang perdana adalah bersama Dwiki Dharmawan’s Orchestra .Saat bersua Deviana Daudsjah (musisi dan profesor musik jazz) dalam sebuah workshow, ternyata Daviana tertarik dengan kemampuan vokal Indra yang unik. Selain mahir imprivisasi dalam beberapa range, Indra juga piawai dalam scat singing ala Louis Armstrong. Mereka lalu tergabung dalam Daya Big Band, yang dibentuk Deviana Daudsjah Indra kini dikenal sebagai motor grupnya; Aziz Quintet, yang kini tengah merekam beberapa lagu untuk album perdana mereka. Penampilan Aziz Quintet dengan lagu “Jakarta City Blues” ( termuat dalam album kompilasi Jazz Masa Kini – The New Wave of Indonesian Jazz ( Aksara Record 2006) cukup beken di radio. Apakah ini menjadi pertanda munculnya gairah baru dalam blantika musik jazz kita ?

Kembalinya Sang Bidadari Kelam


Kembalinya Sang Bidadari Kelam

Oleh : Heru Emka

Courtney Love masih 31 tahun, saat dia bersama bandnya; Hole,- merilis dua album. Yang pertama; “Pretty on the Inside” gagal. Namun album yang kedua; “ Live Through This” meledak. Semua nomor di album ini bisa dibilang luapan kegusaran Love yang diwarnai raungan gitar yang mengerang garang. Perempuan pirang yang sering bertingkah seperti laki-laki di atas panggung ini ( hampir selalu berdiri mengangkang sambil menaikkan sebelah kakinya di atas amplifier box) sepenuhnya gusar dengan para pelaku industri musik yang ‘mencemplungkan semua perempuan dalam kotak kaca berisi gula-gula’.

Love masih teringat penolakan para big boss perusahaan rekaman saat dia menawarkan demo album yang berisi sebelas lagu pada masa awal kiprahnya bersama Hole.“ Kalian sebaiknya jadi dewi cinta saja atau jadi ikon fashion. Bila perempuan bicara tentang masalah sosial, tak pernah jadi seksi, karena perempuan tak bakal mampu mengurus semuanya. Itu doktrin mereka. Tapi kami menolak dan meutuskan untuk merubah citra girl (perempuan manja) menjadi grrrrl (bunyi geraman gusar, yang lantas dijadikan simbol pemberontakan perempuan dalam budaya pop – Emka). “ Lalu Love membentuk band yang keempat personilnya perempuan, dengan nama kontroversial ; Hole ( sebagian besar khalayak musik di AS mengasosiasikan nama ini sebagai lubang seksual perempuan )

Sebenarnya bagi perempuan yang terlahir dengan nama Love Michlelle Harrison ( di Los Angeles, 9 Juli 1965) ini tak begitu masalah bila dia bekerja apa saja, karena sejak dini sudah dipompakan semangat oleh kedua ortunya agar kelak mampu hidup mandiri. Bahkan Love sempat menggelandang meninggalkan kota kelahirannya di kota Eugene, Oregon, AS, bertualang dari kota ke kota menyeberang ke London segala. Walau kedua orang tuanya tergolong kaya, dara pemberontak ini enggan menyadongkan tangan memanti jatah kiriman uang. Untuk hidup dia melakukan segalanya yang bisa, termasuk menari striptis di beberapa klab malam.

Cukup wajar saja bila kemudian Cortney Love bersama Hole dianggap sebagai pengibar panji pemberontakan perempuan dalam blantika musik, dengan seruan tunggal agar perempuan menunjukkan semua kebisaannya dan melabrak semua batasan yang menghalangi mereka untuk merdeka. Seperti yang diteriakkannya dalam lagu Hole yang berjudul “Pump” : “ Like a liar at the witch trial / you look good for your age,” serunya menyemangati perempuan yang berani menyulut api perlawanan.

Sebenarnya kemunculan Courtney Lover & Hole tidak terlalu luar biasa. Dan lagi dia bukanlah wanita pertama yang bernyanyi lantang sambil memainkan gitar. Sebelum Love sudah ada nama-nama lain yang beken lebih dulu, seperti Patty Smith, Kim Gordon (Sonic Youth) Tracy Chapman atau Sheryl Crowe. Namun Love yang dianggap sebagai pembuka jalan bagi kemunculan beberapa perempuan pemarah yang meradang dengan musik keras. Courtney Love dan Hole, dengan lagu-lagu yang meradang, dengan gaya panggung yang tak kalah macho dengan rocker lelaki lainnya, telah mengilhami pemberontakan musik para vokalis perempuan lainnya, dari Tracy Bonham, Shirley Manson (vokalis Garbage), Alanis Morissette hingga mereka yang lebih muda seperti Avril Lavigne atau Amy Lee (Evanescence)

Pengaruh substansial

Tak heran bila Majalah Time ( edisi 17 Juni 1996) menggolongkan janda rocker Kurt Cobain ini sebagai ‘25 orang paling berpengaruh di dunia’ ( 25 Most Influential People ) pada waktu itu. Dalam daftar ini, popularitas Love menyalip tokoh nasional AS lainnya seperti Presiden Bill Clinton, tokoh oposisi kulit hitam Louis Farakhan, Jenderal Collin Powell, bahkan pesohor blantika fesyen Calvin Klein. Dan lagi, berbeda jauh dengan para pesohor lainnya yang wajah sering nongol di berbagai media dan televisi, Courtney Love bukahlah selebriti tanpa substansi. Love, yang mengaku memutuskan berkarir di blantika musik setelah mendengar album Sex Pistol “ Never Mind The Bolloks” ini lebih dari sekedar mewarisi hasrat untuk berontak dan radikal dari tokoh musik pun sebelumnya.

Love bersama Hole, lewat sejumlah lagu dan pernyataan yang diucapkannya dalam sejumlah wawancara dengan media terkemuka mengisyaratkan bila mereka dengan tajam mengkritisi dominasi lelaki dalam relasi antar kelas sosial, namun juga beberapa persepsi yang dipaksakan dalam ideologi dominan (seperti partai politik, orgasisasi ekonomi dan sosial) serta hegemoni di balik ideologi gender, yang misalnya saja mengharamkan terpilihnya presiden perempuan, dan sebagainya. Tak heran bila Majalah Time menjuluki Love sebagai ‘provokator paling berpengaruh’, walau para pengagumnya lebih senang menyebut Love sebagai ‘Bidadari Kelam’.

Toh kebahagiaan ‘pasangan rocker paling absurd’ ternyata harus terkoyak fakta menyakitkan ketika Kurt Cobain tewas bunuh diri (setelah mengeluarkan pernyataannya yang terkelam, “ I hate my self and want to die “ ) yang menyisakan kontroversi dan tudingan penggemar Cobain bila Courtney Love punya andil besar bagi tercetusnya tragedi ini. Walau Love bersama Hole - dengan formasi Courtney Love (vokal, gitar), Eric Erlandson (gitar) Melissa Auf Der Maur (bas) dan Patty Schemel (dram) - mampu terus melaju di sela luka batin Love akibat peristiwa tragis ini,- pertahanan batin Love akhirnya jebol juga.

Amarah, frustrasi, kegamangan dan rasa tertekan menjadikannya kembali pada ‘kawan lama’ yakni obat bius dan alcohol, yang membuatnya jadi sukar mengendalikan diri. Memaki di depan publik, meninggalkan panggung konser saat show berjalan hingga terjun ke arena penonton untuk menyerang seorang pemuda yang meneriakinya,- semua ini membuahkan kesulitan. Dari ditangkap polisi, hingga menjalani pengadilan yang memutuskan harus menjalani rehabilitasi akibat ketergantungan pada alkohol dan obat bius, yang tak saja membuat Love harus melupakan idealismenya sebagai ‘perempuan pejuang’ namun juga membuatnya dijuluki media sebagai ‘Ibu Terburuk di Amerika’ karena tak mampu mengasuh anaknya secara ideal. Dia juga tak memperdulikan kelangsungan Hole.

Kini Courtney Love tampil lagi. Tak saja dengan buku biografi “Dirty Blonde”, namun juga sejumlah lagi baru yang ditulisnya selama menjalani masa rehabilitasi, juga sebuah pujian dari Majalah Rolling Stone yang memasukkan Love ke peringkat ketiga dalam deretan Rock’s New Rebels. Sebuah pengakuan bahwa Love hingga kini masioh punya pengaruh yang cukup besar Love sendiri mensyukuri hikmah semua ini yang membuatnya menyadari sepenuhnya makna petaka obat bius yang memberi andil yang cukup besar bagi kemelut yang membelit jiwa Kurt Cobain dan dirinya. “ Aku bisa main gitar lagi dan mengasuh anakku, dan membiarkan semuanya tahu bahwa aku baik-baik saja,” ujarnya,

Delapan lagu baru yang ditulis Love selama rehabilitasi antara lain berjudul "How Dirty Girls Get Clean," "Sad But True," "Sunset Marquis, "Loser Dust" dan "Never Go Hungry Again." Dia juga merekam semua bersama Billy Corgan, dalam sebuah kumpulan yang dinamai The Rehab Demos. Termasuk lagu seperti "Good in Bed," yang bicara soal pesona seksual dengan lirik seperti, "Tell me why the evil people are so very good in bed."Love merencanakan masuk studio bersama Linda Perry ( gitaris dan motor grup 4 Non Blonde, produser yang sukses menggarap album Pink, Christina Aguilera dan sebagainya ) dan berharap bisa mengebrak lagi. Grrrrl.


Musik, Gaya Hidup, Fashion dan Identitasnya

Musik, Gaya Hidup, Fashion dan Identitasnya

“ Living in the limelight
The universal dream
For those who wish to seem. “

- Rush, Limelight

Setiap kali kita berbicara tentang musik pop (di) Indonesia, kita tak bisa memisahkannya dengan gaya hidup. Bukan saja musik pop, seperti yang diduga oleh banyak orang – menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda di perkotaan, namun lebih jauh lagi musik pop sudah dianggap sebagai gaya hidup itu sendiri. Artinya, untuk menikmati gaya hidup heavy metal , anak muda di berbagai kota kecil di Jawa Tengah (misalnya Kendal, Kaliwungu, Batang dan sebagainya ) cukup mengadopsinya dengan memanjangkan rambut, mengenakan kaos hitam berhias sablon bintang metal seperti metallica dan sebagainya, sambil tentu saja mendengarkan musik gaduh riuh itu sesering mungkin.

Untuk mencebur dalam budaya J-Pop, tak harus mejeng di kawasan Harayuku Street di Jepang sana, namun cukup dengan segenap mengenakan fashion gaya ‘tabrak lari’ yang memadu semua unsur fashion secara kontras dan naïf. Seperti apa yang dikenakan sebagai kostum panggung duo cantik Ratu. Gaya hidup hip-hop girl yang serba seksi lengkap dengan irama -dansa ala Britney Spears berikut gaya fashion mereka yang serba terbuka dan seksi, juga bukan hal yang baru bagi para gadis muda kita, dengan idola mereka; Agnes Monica,- yang akhir-akhir ini dilanda hasrat untuk bisa go international. Di samping itu, kita tahu gaya yang cenderung ‘bohemian’, suka-suka gua dengan wacana pemikiran yang kritis pada beberapa masalah sosial, juga menjadi ‘prinsip’ para pecinta berat Iwan Fals.

Semua ini menunjukkan bahwa musik pop (di) Indonesia kini bukan lagi tampil sebagai sekedar produk budaya pop, yang bermula dari faktor kebutuhan dan pemenuhan ( Di AS bermula dari adanya radio yang butuh materi musik untuk disiarkan, lalu ada perusahaan rekaman yang merekam penyanyi baru, setelah disiarkan jadi beken, diminta manggung di mana-mana, dan menciptakan peluang bagi industri musik untuk memenuhi kebutuhan itu ), namun sudah terkomodifisakisan sedemikian rupa, dari luar-dalam, hingga menjadi seuatu keniscayaan yang tak bisa dilewatkan dalam kehidupan kaum muda kita.


Realitas pop yang artifisial

Hugh Mackay, pada bab Introduction, dalam bukunya tentang kajian gaya hidup dan budaya pop yang cukup berpengaruh ( berjudul Consumption and Everyday Life), menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang bisa kita jadikan sebagai cirri atau penanda bagi redefinisi budaya pop dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari, yakni : waste/use up ( apa yang masih ngetren atau apa yang sudah ‘nggak’ musim ), pleasure ( sejauh mana lagu pop cukup asyik dinikmati ) , everyday practice ( kaitan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Misalnya lirik lagu SMS-nya Trio Macan yang akrab dengan gejala SMS-mania di kalangan anak muda ) dan faktor lain yang cukup terkait, yakni related to our identity ( warna musik atau makna lirik yang dianggap mewakili citra dan hasrat seseorang secara personal ).

Karena itu eksistensi musik pop tak bisa dipisahkan dari gaya hidup dan fashion, sebagai ‘habitat alami’nya. Bahkan keberadaan dua unsur lain itu, gaya hidup dan fashion, akhirnya menjadi satu bagian tak terpisahkan ( istilah ngepopnya satu paket ) sebagai sebuah produk kultur modernisme, dengan segenap bentuk komodifikasinya, yang di era cybernetrik ini justru semakin menjadi-jadi.

Konsep pasar musik misalnya, ikut berubah. Bila sebelumnya jaringan pasar musik adalah gerai toko kaset dan berbagai outlet lainnya, dengan produk jadi berupa album kaset atau cakram CD, kini bisnis cyber seperti download lagu dan ring tone menjadi kenyataan pasar yang sebelumnya tak terbayangkan. Artinya citra selebritis yang sebelumnya sudah melebar ke layar kaca ( sesuatu yang bisa dinikmati secara un-real) malah semakin berpotensi untuk menjadi hyper-real. Para Slanker semakin merasa akrab sebagai bagian dari komunitas musik grup Slank secara ‘personal’, karena setiap saat mereka bisa ‘terkoneksi’ dengan Slank atau para personilnya dengan mengakses lewat cara tertentu pada perangkat ponsel. Para pecinta musik pop (di) Indonesia bisa setiap saat menimati lagu, video klip, wall paper, foto-foto, bahkan ‘ngobrol’ dengan bintang idolanya. Bukankah ini merupakan suatu kelebihan yang tak ada sebelumnya. Begitu nyata, sekaligus begitu artifisial.

Jadi, bila bicara soal gaya hidup atau sisi fashioning budaya pop, saya setuju dengan pandangan John Fiske tentang Madonna. Dalam bukunya; Understanding Popular Culture. (New York: Routledge, 1989.),- Fiske menyebutkan bila sukses Madonna menjadi diva musik pop dunia berkaitan erat dengan pendekatan para kapitalis lelaki untuk mengolah semua peluang bisnis yang bisa ditangguk dari sisi seksual dan keperempuanan Madonna. (Madonna as the product of patriarchal capitalism… shows the typically exploitative approach of the capitalist pop music industry, exploitative of both her and her teenage girl fans ). Dengan demikian, secara tidak langsung, para fans Madonna, bagi Fiske merupakan semacam ‘cultural dopes’ . Mereka (harus) ada, dan bila perlu diciptakan sebagai pendorong si artis untuk mencapai puncak perhatian. Untuk itu sang artis berusaha untuk memenuhi apa yang diinginkan para pemujanya.

Bila secara fisik mereka tak bisa hadir setiap saat di antara pemujanya, kini mereka melakukannya secara virtual. Ruang cyber telah menginvasi ruang yang nyata ( perceptual space), di sisi lain tubuh sang artis berkembang menjadi ‘tubuh-media’, mungkin sekali di-klon setiap saat, dengan berbagai cara. Maka jelaslah kutipan sebait lirik lagu dari Rush yang saya tampilkan di atas tadi. Kenikmatan mendapat sorotan lampu popularita tak saja dirasakan oleh si artis, namun juga para penggemarnya yang secara komunal menikmati impian yang didambakan. Bagi si artis, jadi ternama karena banyak pemuja. Bagi si pemuja, merasakan keasyikan (pleasure) karena menjadi bagian dari kemashuran pujaannya. .

Maka budaya musik pop (di) Indonesia sama pekatnya dengan lumpur budaya komersial di kancah global. Soal gaya hidup, fashion, bahkan identitas kluturalnya pun tak bisa dipilah-pilah secara sepihak. Misalnya, jawablah pertanyaan ini : Adakah musik pop yang sepenuhnya berwajah Indonesia ? Ubiet pernah berupaya ketika merekam albumnya yang berjudul Archipelagongs. Niat bagus yang sayangnya tak pernah menjadi bagian dari mainstream musik pop (di Indonesia. Agnes Monica dengan album terakhirnya Waddup A ? lebih bicara dalam idiom musik pop kita. Inilah lingkungan lumpur budaya yang membuat kita setengah mati berenang mencapai air jernih. Dalam budaya hype ini, selebriti memang menjadi penguasa. Taak heran bila kadang ada yang merasa tolol sendiri, seperti Nirvana dalam lagu ini : “ I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us.” (
Smells Like Teen Spirit )


- Heru Emka, pengamat musik dan pekerja seni -

Artikel ini ditulis untuk teman baik yang belum pernah ku jumpa :

Nia Purna

God Bless Akhirnya Bangkit Juga


Melodi satu-dua nada gitar listrik Ian Antono berjalan menapak basis bunyi kibor Abadi Soesman sebelum mendesir kencang mengawali intro lagu yang berjudul N.A.T.O. “Jangan lihat sepatu yang orang pakai / Lihat berapa jauh jangkah melangkah / Itu tandanya berpikir positif,” begitu Achmad Albar berdendang kencang membuka lagu ini. Saya agak terkejut mendengar gaya vokalnya yang terdengar sengau dan berkesan kenes, berbeda warna vokal yang biasa kita kenal. Tapi lagu yang diciptakan oleh Ian Antono (bersama Cahya Sadar) ini mungkin menjadi ujung tombak bagi langkah musikal album yang keenam bagi God Bless, setelah sekian lama tertunda-tunda selama dua belas tahun terakhir ini.
God Bless sebenarnya bukanlah sekedar nama dalam blantika musik rock kita, namun juga sebuah legenda. Dalam rentangan panjang eksistensi mereka selama tiga puluh enam tahun, mereka malah hanya menghasilkan enam album rekaman, yakni album perdana : God Bless (Pramaqua, 1975), Cermin (JC Record, 1975), Semut Hitam (Loggis Record, 1988), Raksasa (Loggis Record, 1989), Apa Kabar (1997) dan yang terbaru ini, berjudul 36 Tahun, diproduksi sendiri secara independen.
Bagaimana legenda rock Indonesia ini akhirnya menapaki jalur indie, yang biasa dilalui pendatang baru yang belum punya pamor dalam blantika musik ? Tiitiek Saelan, istri gitaris Ian Antono, yang kali ini mendapat peran sebagai manajer God Bless yang pertama menjelaskan bahwa langkah ini harus ditempuh untuk menopang eksistensi God Bless sepenuhnya dalam menggarap album yang terkini. “ God Bless adalah band yang sudah memiliki karakter musik tersendiri. Selama ini kita tahu, bagaimana industri musik selalu mendikte agar album yang beredar tidak melenceng dari warna musik yang mereka inginkan. Jalan tengahnya adalah kita harus mandiri, karena itulah God Bless memutuskan memproduksi sendiri album ini, walau sebenarnya ada beberapa pihak yang menawarkan kerja sama,” begitu ujar Titiek, yang juga mantan personil sebuah band perempuan.

Perjuangan berat
Menurut Ali Akbar, pencipta lagu dan promotor musik yang dianggap sebagai sahabat dekat para personil God Bless,- legenda hidup musik rock ini sebenarnya mempertahankan keberadaan mereka melalui perjuangan yang cukup berat. “ Ada beberapa kendala yang cukup rumit dalam persoalan mempertahankan formasi. Teddy (Sujaya, dramer God Bless yang bergabung sejak 1975) sudah memutuskan untuk pensiun dari dunia musik. Selain itu ada kesulitan tersendiri dalam hal komunikasi dengan Yockie (Suryo Prayogo, pemain kibor sejak formasi perdana, 1973) . Kamu juga tahu kan, beberapa waktu yang lalu, Iyek (panggilan akrab Achmad Albar) kesandung masalah narkoba. Sebenarnya God Bless masih terikat kontrak satu album dengan Log (Zelebor, produser tiga album God Bless sebelumnya), namun nggak mungkin kan God Bless menggarap album untuk industri musik yang iklimnya lagi carut marut seperti ini. Jadi Ian yang berpikir keras, bagaimana agar God Bless terus ada, buktinya apa ? Apa sekedar muncul di atas panggung, atau punya karya musik yang baru ? Tak bisa tidak, Ian dan Iyek berjuang keras. Penunjukan Ian secara khusus sebagai music director album ini adalah penghormatan teman-teman kepadanya. Dalam sejarah God Bless, biasanya soal musik selalu ditangani bersama-sama,” ujar Ali Akbar dalam sebuah percakapan cyber beberapa hari yang silam.
Selain mempersiapkan lagu-lagu sebagai materi andalan album baru ini, langkah yang ditempuh Ian adalah menyiapkan personil yang solid. Dalam sebuah percakapan di balik panggung Soundadrenalin di Semarang, beberapa tahun silam, gitaris Ian Antono menuturkan bahwa bermain rock progresif mungkin akan menjadi pilihan God Bless dalam tahap musikal selanjutnya. Mungkin karena itulah dia kembali merekrut pemain kibor Abadi Soesman, yang kehandalannya sudah teruji dalam album Cermin, yang antara melahirkan lagu Anak Adam, nomor prog-rock yang menambah kilau God Bless sebagai grup rock yang berkualitas jempolan.
Soal pengganti Teddy Sujaya, God Bless sudah mencoba kebandalan Inang Noorsaid, dengan memajangnya sebagai dramer God Bless sepanjang penampilan mereka dalam rangkaian konser Soundadrenalin. Namun Albar dan Ian lebih memilih Yaya Muktio, dramer Gong 2000, yang dianggap lebih punya ‘chemistry’ sebagai dramer God Bless yang baru.
Naka tampillah formasi ini, Achmad Albar (vocal), Ian Antono (gitar utama), Donny Fattah ( bas), Abadi Soesman (kibor) dan Yaya Muktio (dram) sebagai formasi terkini God Bless. Para rocker gaek ini ( selain uban sudah mewarnai rambut mereka, kini semuanya juga sudah menyandang status kakek ) tampil lagi ke depan, menghadirkan nomor-nomor prog-rock yang dipastikan bakal dinanti sekian banyak penggemar God Bless di Indonesia.
Salah satu nomor prog-rog mereka yang bakal cepat disukai penggemar adalah Prahara Timur Tengah yang menyisipkan interlude berbahasa Arab ala lagu gambus. Menurut saya, nomor ini pula yang paling pantas mendapat acungan jempol di album terkini yang menandai 36 tahun perjalanan God Bless. Sebagai penggemar lama God Bless, sebenarnya saya mengharapkan bila lagu ini lebih menampilkan kepiawaian musikalitas formasi ini, setidaknya mengulang arti kehadiran Abadi dalam album Cermin dahulu. Sayang Prahara Timur Tengah yang seharusnya bisa diolah lebih mendalam hanya tampil dalam durasi yang pendek.
Apakah ini berkaitan dengan masalah daya tahan, seperti penuturan yang sempat disampaikan oleh Ian Antono, bahwa dia juga harus memperhitungkan stamina Achmad Albar sebagai figur utama God Bless ? “ Di dalam studio, dia masih sanggup mendaki nada-nada tinggi. Namun kita harus pertimbangkan juga bila dia di atas panggung, dua jam lebih beraksi ke sana ke mari. Amat menguras tenaga kan ? Jadi (soal) lagu kita agak pendekin. Tapi soal musik, God Bless all out. Kami menjanjikan yang terbaik sepanjang perjalanan karir kami selama ini, “ ujar Ian pasti.
Ok. Para rocker gaek, selamat berjuang. Seperti kata pepatah, old soldiers never die. They just fade away……

Naskah : Heru Emka
Foto : Drigo L. Tobing / Rolling Stones