Senin, 06 Juli 2009

Regenerasi dalam Musik Jazz Kita


Regenerasi dalam Musik Jazz Kita

Oleh : Heru Emka

Jazz adalah jenis musik yang liat. Dan pengertian liat ini bisa ditafsirkan dalam dua makna. Yang pertama, jazz sering dianggap liat dalam aanggapan sebagai musik yang ‘sukar dicerna’. Bila musik pop cenderung bisa langsung dipahami dan dihayati secara instan, jazz membutuhkan sedikit apresiasi tersendiri, karena pada dasarnya jazz memang mengembangkan diri atas dasar improvisasi, yang membuat setiap lagu jazz selalu hadir dalam bentuk dan ekspresi yang berbeda.


Sebuah lagu, sebut saja “Sepanjang Jalan Kenangan” (karya A. Riyanto), bila akan menjadi lima lagu dalam nuansa berbeda, bila dimainkan oleh lima orang musisi jazz. Improvisasi dan kebebasan untuk menafsir komposisi musik inilah yang membuat musisi mnyejikan lagu dengan sentuhan yang amat personal. Tak heran bila sebuah aransemen lagu ala jazz jadi amat berbeda dengan versi aslinya. Ini yang menimbulkan salah paham seakan jazz selalu merumitkan sebuah lagu. Atau bahkan ‘merusak-nya.

Makna yang kedua, musik jazz liat karena selalu bisa tetap hidup dalam segala situasi. Atau menurut istilah yang sering dipakai di kalangan milis jazz ‘Musik jazz kagak ade matinye’. Dengan menyandang beban sejarah denga predikat sebagai jenis musik yang ‘sulit’, musik jazz tak memiliki pasar yang luas, walau ada masanya jenis musik ini mengalami masa booming tersendiri. Mengherankan juga melihat fakta musik jazz sebagai musik yang terpinggirkan, justru berhasil menginvasi beberapa jenis musik lain yang sudah mapan, seperti musik rock atau disko, sehingga muncul berbagai varian jazz yang baru, dari bossanova, jazz rock, fusion (paduan jazz-rock dan disko) hingga acid jazz sebagai bentuk merasuknya sukma jazz ke dalam bentuk musik industrial yang marak di arena dugem.

Kembali pada dasawarsa pertama di milenium baru, yang dianggap sebagai masa paceklik bagi musik jazz, ditandai dengan menyusutnya pasar bagi jenis musik ini, serta jumlah angka produksi yang menurun tajam. Bahkan sebagai ‘genderang perang’ yang menyerang eksistensi musik jazz, muncul statemen yang mengejutkan dari Eric nisenson. Pengamat musik ini dalam artikelnya; “Blue : The Murder of Jazz “ (Billboard, Januari 2007) menyebutkan bahwa “ Jazz telah mati” (Jazz is dead), antara lain menyebutkan bila penjualan dan produksi album musik jazz jumlah hanya sekitar 3 persen dibanding album musik pop di sana.

Loncat pagar

Situasi terakhir musik jazz kita kurang lebih sama memprihatinkan, walau pun ada beberapa even jazz dengan skala cukup besar seperti Bali Jazz Festival atau Java Jazz Festival yang terselenggara dengan baik. Selain jumlah frekuensi pagelaran musik jazz yang menyempit, jumlah produksi album jazz pun menurun, sementara regenerasi musisi jazz kita terasa seret. Anggapan bahwa lahan musik jazz hanya tepat bagi idealisme musik semata, dan bukan lahan yang basah untuk mencari uang, tak saja menurunkan minat anak muda yang berniat menekuni jenis musik ini,- namun juga membuat para musisi yang sudah eksis terpaksa ‘loncat pagar’ untuk beralih ke musik pop, yang secara finansial memang lebih menguntungkan.

Padahal di tahun 1980-an, musik jazz sempat panen raya di Indonesia. Selain bermunculan grup baru yang dimotori oleh anak-anak muda yang memainkan musik jazz, jumlah produksi dan pagelaran jazz cukup padat frekuesinya. Tak saja di berbagai kampus dan kafe yang memang menjadi lahan alamiah bagi jenis musik ini, namun juga di berbagai venue yang menggelar pertunjukan secara komersial.

Di Semarang sendiri pernah tercatat beberapa moment jazz besar yang dipadati penonton, seperti penampilan grup Bhaskara dan Krakatau di Gedung Olah Raga Jawa Tengah (dulu) serta penampilan beberapa virtuoso jazz, dari Bill Saragih, Luluk Purwanto, hingga Bubi Chen di berbagai hall hotel berbintang di kota ini. Menjamur juga berbagai festival musik yang diikuti grup yang cukup bagus dari beberapa SMA favorit. Dari ajang seperti ini saja mencuat beberapa grup jazz remaja seperti DAC Band atau Kamadhatu di Semarang. Begitu juga di kota lainnya seperti Bandung dan Jakarta.

Dalam sebuah percakapan dengan jazzer Risya Arsad menjelang penampilannya di Semarang, beberapa tahun silam, pemain akordeon yang juga pemuka grup Simak Dialog ini mengeluhkan langkanya pemain muda jazz yang punya skill musik tinggi.” Mencari pemain kontra bas yang baik saja susahnya bukan kepalang. Basis muda yang baik seperti Anto Hoed saja malah telah lompat pagar, menyeberang ke musik pop,” ujarnya.

Untunglah, beberapa kelompok anak muda, seperti komunitas Simak Dialog, Komunitas Jazz Indonesia serta beberapa musisi seperti Indra Lesmana, Dwiki Darmawan, Tohpati dan Deviana Daudsjah rajun menggelar forum jazz dalam berbagai kesempatan, sehingga walaupun cukup tersendat, muncul juga regenerasi musik jazz kita. Beberapa nama baru kini bermunculan, seperti Indra Aziz Quintet, Imam Prass Quartet, Park Drive 6th Elements, Tomorrow People Ensemble dan beberapa lagi. Nama para solis seperti pianis Niat Juliarso, saksofonis Indra Aziz dan gitaris Wayan Balawan pun cukup menggembirakan. Di daerah juga mencuat beberapa vokalis kemudian cukup digemari seperti Peppy Kamadatu dan beberapa lagi.

Indra Aziz ( kelahiran Jakarta, 3 September 1978) misalnya, ternyata sama piawainya dalam bermusik dan berolah vokal. Cowok tambun yang piawai berdendang dalam beberapa gaya dan range vokal ini tak saja terdengar asyik melantunkan scat singing, namun juga menirukan berbagai bunyi alat musik seperti Al Jarreau. Menyanyi sejak bocah (di bimbing ibunya; Rosita Sanusi,- yang dikenal sebagai penyanyi, penari dan pelukis) Indra lalu bermain dram, karena mengagumi permainan dram Jelly Tobing. Di bangku SMP, Indra juga memainkan gitar, kibor dan bas listrik, walau tak pernah mempelajari alat musik tadi secara mendalam. Anehnya, menginjak masa SMA, Indra malahbergabung dengan grup paduan suara sekolah dan bermain gitar di band sekolah yang membawakan lagu-lagu pop-rock.

Baru setelah menginjak masa kuliahnya di Universitas Trisakti, Indra secara serius belajar jazz di Sekolah Musik Farabi, dan memainkan alto saxophone. Walau sudah pernah tampil daslam beberapa grup yang beragam ( termasuk grup musik ska), penampilan profesional Indra Aziz yang perdana adalah bersama Dwiki Dharmawan’s Orchestra .Saat bersua Deviana Daudsjah (musisi dan profesor musik jazz) dalam sebuah workshow, ternyata Daviana tertarik dengan kemampuan vokal Indra yang unik. Selain mahir imprivisasi dalam beberapa range, Indra juga piawai dalam scat singing ala Louis Armstrong. Mereka lalu tergabung dalam Daya Big Band, yang dibentuk Deviana Daudsjah Indra kini dikenal sebagai motor grupnya; Aziz Quintet, yang kini tengah merekam beberapa lagu untuk album perdana mereka. Penampilan Aziz Quintet dengan lagu “Jakarta City Blues” ( termuat dalam album kompilasi Jazz Masa Kini – The New Wave of Indonesian Jazz ( Aksara Record 2006) cukup beken di radio. Apakah ini menjadi pertanda munculnya gairah baru dalam blantika musik jazz kita ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar