Melodi satu-dua nada gitar listrik Ian Antono berjalan menapak basis bunyi kibor Abadi Soesman sebelum mendesir kencang mengawali intro lagu yang berjudul N.A.T.O. “Jangan lihat sepatu yang orang pakai / Lihat berapa jauh jangkah melangkah / Itu tandanya berpikir positif,” begitu Achmad Albar berdendang kencang membuka lagu ini. Saya agak terkejut mendengar gaya vokalnya yang terdengar sengau dan berkesan kenes, berbeda warna vokal yang biasa kita kenal. Tapi lagu yang diciptakan oleh Ian Antono (bersama Cahya Sadar) ini mungkin menjadi ujung tombak bagi langkah musikal album yang keenam bagi God Bless, setelah sekian lama tertunda-tunda selama dua belas tahun terakhir ini.
God Bless sebenarnya bukanlah sekedar nama dalam blantika musik rock kita, namun juga sebuah legenda. Dalam rentangan panjang eksistensi mereka selama tiga puluh enam tahun, mereka malah hanya menghasilkan enam album rekaman, yakni album perdana : God Bless (Pramaqua, 1975), Cermin (JC Record, 1975), Semut Hitam (Loggis Record, 1988), Raksasa (Loggis Record, 1989), Apa Kabar (1997) dan yang terbaru ini, berjudul 36 Tahun, diproduksi sendiri secara independen.
Bagaimana legenda rock Indonesia ini akhirnya menapaki jalur indie, yang biasa dilalui pendatang baru yang belum punya pamor dalam blantika musik ? Tiitiek Saelan, istri gitaris Ian Antono, yang kali ini mendapat peran sebagai manajer God Bless yang pertama menjelaskan bahwa langkah ini harus ditempuh untuk menopang eksistensi God Bless sepenuhnya dalam menggarap album yang terkini. “ God Bless adalah band yang sudah memiliki karakter musik tersendiri. Selama ini kita tahu, bagaimana industri musik selalu mendikte agar album yang beredar tidak melenceng dari warna musik yang mereka inginkan. Jalan tengahnya adalah kita harus mandiri, karena itulah God Bless memutuskan memproduksi sendiri album ini, walau sebenarnya ada beberapa pihak yang menawarkan kerja sama,” begitu ujar Titiek, yang juga mantan personil sebuah band perempuan.
Perjuangan berat
Menurut Ali Akbar, pencipta lagu dan promotor musik yang dianggap sebagai sahabat dekat para personil God Bless,- legenda hidup musik rock ini sebenarnya mempertahankan keberadaan mereka melalui perjuangan yang cukup berat. “ Ada beberapa kendala yang cukup rumit dalam persoalan mempertahankan formasi. Teddy (Sujaya, dramer God Bless yang bergabung sejak 1975) sudah memutuskan untuk pensiun dari dunia musik. Selain itu ada kesulitan tersendiri dalam hal komunikasi dengan Yockie (Suryo Prayogo, pemain kibor sejak formasi perdana, 1973) . Kamu juga tahu kan, beberapa waktu yang lalu, Iyek (panggilan akrab Achmad Albar) kesandung masalah narkoba. Sebenarnya God Bless masih terikat kontrak satu album dengan Log (Zelebor, produser tiga album God Bless sebelumnya), namun nggak mungkin kan God Bless menggarap album untuk industri musik yang iklimnya lagi carut marut seperti ini. Jadi Ian yang berpikir keras, bagaimana agar God Bless terus ada, buktinya apa ? Apa sekedar muncul di atas panggung, atau punya karya musik yang baru ? Tak bisa tidak, Ian dan Iyek berjuang keras. Penunjukan Ian secara khusus sebagai music director album ini adalah penghormatan teman-teman kepadanya. Dalam sejarah God Bless, biasanya soal musik selalu ditangani bersama-sama,” ujar Ali Akbar dalam sebuah percakapan cyber beberapa hari yang silam.
Selain mempersiapkan lagu-lagu sebagai materi andalan album baru ini, langkah yang ditempuh Ian adalah menyiapkan personil yang solid. Dalam sebuah percakapan di balik panggung Soundadrenalin di Semarang, beberapa tahun silam, gitaris Ian Antono menuturkan bahwa bermain rock progresif mungkin akan menjadi pilihan God Bless dalam tahap musikal selanjutnya. Mungkin karena itulah dia kembali merekrut pemain kibor Abadi Soesman, yang kehandalannya sudah teruji dalam album Cermin, yang antara melahirkan lagu Anak Adam, nomor prog-rock yang menambah kilau God Bless sebagai grup rock yang berkualitas jempolan.
Soal pengganti Teddy Sujaya, God Bless sudah mencoba kebandalan Inang Noorsaid, dengan memajangnya sebagai dramer God Bless sepanjang penampilan mereka dalam rangkaian konser Soundadrenalin. Namun Albar dan Ian lebih memilih Yaya Muktio, dramer Gong 2000, yang dianggap lebih punya ‘chemistry’ sebagai dramer God Bless yang baru.
Naka tampillah formasi ini, Achmad Albar (vocal), Ian Antono (gitar utama), Donny Fattah ( bas), Abadi Soesman (kibor) dan Yaya Muktio (dram) sebagai formasi terkini God Bless. Para rocker gaek ini ( selain uban sudah mewarnai rambut mereka, kini semuanya juga sudah menyandang status kakek ) tampil lagi ke depan, menghadirkan nomor-nomor prog-rock yang dipastikan bakal dinanti sekian banyak penggemar God Bless di Indonesia.
Salah satu nomor prog-rog mereka yang bakal cepat disukai penggemar adalah Prahara Timur Tengah yang menyisipkan interlude berbahasa Arab ala lagu gambus. Menurut saya, nomor ini pula yang paling pantas mendapat acungan jempol di album terkini yang menandai 36 tahun perjalanan God Bless. Sebagai penggemar lama God Bless, sebenarnya saya mengharapkan bila lagu ini lebih menampilkan kepiawaian musikalitas formasi ini, setidaknya mengulang arti kehadiran Abadi dalam album Cermin dahulu. Sayang Prahara Timur Tengah yang seharusnya bisa diolah lebih mendalam hanya tampil dalam durasi yang pendek.
Apakah ini berkaitan dengan masalah daya tahan, seperti penuturan yang sempat disampaikan oleh Ian Antono, bahwa dia juga harus memperhitungkan stamina Achmad Albar sebagai figur utama God Bless ? “ Di dalam studio, dia masih sanggup mendaki nada-nada tinggi. Namun kita harus pertimbangkan juga bila dia di atas panggung, dua jam lebih beraksi ke sana ke mari. Amat menguras tenaga kan ? Jadi (soal) lagu kita agak pendekin. Tapi soal musik, God Bless all out. Kami menjanjikan yang terbaik sepanjang perjalanan karir kami selama ini, “ ujar Ian pasti.
Ok. Para rocker gaek, selamat berjuang. Seperti kata pepatah, old soldiers never die. They just fade away……
Naskah : Heru Emka
Foto : Drigo L. Tobing / Rolling Stones
Foto : Drigo L. Tobing / Rolling Stones
Tidak ada komentar:
Posting Komentar