Senin, 06 Juli 2009

Kolaborasi Garin Nugroho dan Franky Sahilatua


Kisah tentang Panci dan Pancasila


Oleh : Heru Emka


Malam baru bermula ketika sekitar seratusan penonton berkumpul di sekitar panggung yang sederhana namun terasa artistik ( berkat kontur ‘jurang’ yang diubah menjadi teater alami dengan view melingkar) di Desa Seni Lerep. Di tengah panggung, sutradara Garin Nugroho duduk bersebelahan dengan penyanyi Franky Sahilatua, memulai pentas kolaborasi yang memadukan penuturan berbagai kisah inspiratif berselang-seling dengan tembang balada Franky, yang oleh Garin disebutkan sebagai ‘ niat untuk meneruskan tradisi pelipur lara’.

Gaduh riuh situasi politik seperti yang terjadi saat inilah yang menumbuhkan gagasan Garin Nugroho untuk menuturkan apa yang disebutnya sebagai Dongeng Pancasila, sebagai hasrat untuk menumbuhkan kesadaran dan pemikiran kritis masyarakat, di saat ruang bersama bagi suatu dialog sosial (istilah Garin ‘civic forum’) mulai memudar. Berbagai isu dan kepentingan golongan yang terasa menggumpal sebagai wacana yang saling beradu pengaruh, dicemaskan mengikis rasa solidaritas yang sebelumnya menjadi tali pengikat komunal masyarakat. Maka mulailah Franky berdendang dengan iringan gitar akustiknya, dilanjutkan oleh penuturan Garin tentang berbagai topic yang terentang panjang. Dari kisah tentang Mussolini yang beralih peran dari seorang pahlawan menjadi dictator yang ditolak rakyatnya, hingga kisah pedih tentang ironi Papua dan Taman Nasional Wasur sebagai ‘sorga yang hilang’.

Dari Dongeng Pancasila inilah wacana tentang nilai kebangsaan dikomunikasikan berdasarkan visi, pengalaman, emosi, empati dan sudut pandang keduanya terhadap berbagai problema yang sedang terjadi di masyarakat, meluncur dalam kisah sederhana tentang Soekarno, apel Malang, Marcopollo, Haji Agus Salim, Mussolini dan Rahim Perdamaian.

Garin berada di jalur yang benar saat dia melakukan dialog kebudayaan sebagai peristiwa yang terjadi dan dialami dalam kehidupan kita sehari-hari, jauh dari wacana kebudayaan sebagai konsepsi estetis dan elitis. Dengan gaya penuturan yang lembut, Garin berhasil merajut simpul-simpul inspirasi dari rangkaian narasi yang membingkai berbagai tema dan sudut pandang tentang religiusitas, patriotisme, solidaritas dan semangat untuk tumbuh dalam kebersamaan, yang secara prinsip telah diamanatkan dalam Pancasila. Saat Garin menggandeng Franky Sahilatua untuk mendanpinginya berkeliling pentas di sepuluh kota ( Ende, Solo, Semarang, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Makassar dan Medan ),- terjadilah sebuah jembatan yang terentang lurus bagi pemahaman atas semuanya sebagai sebuah makna yang terserap secara individual bagi para pemirsanya.

Penutur kata sejak semula bagai sepasang pengantin dengan musik pengiringnya. Di sisi lain, musik memang memiliki kecenderungan politis bila sudah menyandang lirik yang sepadan dengan hasrat teks yang politis pula. Karena itulah persekutuan narasi-musik cenderung lebih aksesibel, dengan abstraksi perenungan idiomatik yang akrab. Gaya dan idiom musik seperti ini yang cenderung untuk tampil sebagai sebuah model dari bentuk interaksi sosial yang ideal. Maka duet Franky dan Garin tak ubahnya persekutuan antara daya penghibur seorang troubadour dengan kalimat bernas seorang cendekia seperti Abunawas.

Gerakan sosial baru

Tradisi troubadour (penyanyi keliling) yang bermula di Eropa pada abad kesebelas , dianggap berjasa menyuntikkan kesadaran yang serta merta akan suasana sosial yang diwacanakan melalui gaya tutur dan dendang yang plastis, menyimpan sindiran dan bentuk pasemon yang tersamar, untuk menembus benteng kekuasaan mutlak penguasa,- kadang dalam bentuk lirik berbungkus teka-teki, lelucon, nasehat moral atau bahkan kisah dari dongeng fantasi - yang untuk menyamarkan realitas yang akan disampaikan - seolah-olah bermuara dari negeri antah berantah. Tak heran bila Dante Alighieri dalam De vulgari eloquentia, menjabarkan lirik lagu para troubadour ini sebagai fictio rethorica musicaque poita: lirik yang retorik, puitis sekaligus fiktif.

Di Amerika, misalnya, lagu rakyat selama ini memiliki tradisi menyuarakan ketidakpuasan politik, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Dalam sejarah budaya pop, hal ini mengacu pada era tahun ’50-an, ketika Woodie Guthrie ngamen ke berbagai penjuru AS, menyanyikan lagunya yang berjudul This Land is Your Land ( kini dianggap sebagai lagu protes sosial paling inspiratif). Hasilnya tak saja menimbulkan kesadaran rakyat jelata akan ketimpangan sosial yang terjadi di Era Depresi, namun juga ‘melahirkan’ seorang Bob Dylan, yang bertekad untuk menjadi ‘penyambung lidah rakyat’, menyanyikan lagu-lagu protes di Greenwich Village. Itulah titik tolak kemashuran Bob Dylan yang kemudian dianggap sebagai ‘suara generasinya’ sebagai pemula gerakan anti perang.

Franky Sahilatua sendiri adalah seniman yang sejak awal karirnya memiliki keterikatan pada nuansa sosial yang ada di masyarakat kita. Sebagai penyanyi lagu balada, Franky tak saja bernyanyi tentang musim bunga, atau nostalgia pedih seorang ibu yang kehilangan anak gadisnya, namun dia juga berdendang tentang kaum marginal; kehidupan perempuan pengumpul daun jati, orang-orang pinggiran yang terus bertahan di tengah berbagai ketimpangan dan ketidak adilan, seperti rakyat Papua yang mengais rejeki sebagai penjual buah piang, di bumi mereka yang kaya raya. Maka, dibalik suaranya yang mengalun lembut dan denting gitarnya yang bening, Franky bagaikan magma sosial yang tersamarkan. Dia tak saja mengalir deras dengan lagunya Di Bawah Tiang Bendera ( yang dicipta berdasarkan peristiwa 27 Juli ), namun juga terasa menonjok saat menyanyikan lagu Papua. Lagu yang menurut Garin, begitu dimuliakan di Papua, diputar di setiap gereja tak ubahnya panggilan azan di mesjid-mesjid kita ini begitu menggugah, serasa bagaikan orasi I Have a Dream-nya Martin Luther King Jr.

Pentas keliling Dongeng Pancasila ini bahkan berpeluang mendorong terjadinya gerakan sosial baru. Bila seorang Woodie Guthrie mengilhami seorang Bob Dylan, maka duo Garin-Franky ini niscaya akan memompakan lebih banyak keyakinan bagi kaum muda di seantero wilayah Nusantara, bila dilakukan lebih intens, dengan merajut jaringan kerja dan membina bentuk-bentuk bagi apresiasi yang luas lagi. Bagi saya, materi yang terkandung dalam Dongeng Pancasila terlalu sayang bila hanya berlalu sebagai sebuah peristiwa kesenian semata. Lewat salah satu kisah dalam Dongeng Pancasila misalnya, masyarakat akan meninjau ulang makna dan arti kata pahlawan, bahkan untuk apa sih sebenarnya kita merdeka kalau rakyat semakin menangis dalam kemiskinan. Pemimpin seperti apakah yang kita butuhkan saat ini, karena menurut Garin, pemimpun yang tak lahir dari hati nurani rakyatnya bagaikan arwah penasaran. Tak pernah sampai pada tujuan.

Menjelang akhir, Garin berkisah tentang sebuah daerah di pedesaan Jawa Tengah, di mana para penduduknya hidup sebagai perajin yang membuat lambang Garuda Pancasila. Kini pesanan lambang negara dan bangsa kita itu tak pernah muncul, sehingga para perajin mengecor lagi semua lambang Garuda Pancasila yang tersisa dan mendaur ulang menjadi panci, untuk menopang hidup mereka sehari-hari. Bukankah kisah ini mencerminkan ironi, ketika ideologi kebangsaan ‘dicairkan’ dan menjadi barang dagangan dan obyek keuntungan semata ?

- Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar