Sabtu, 22 Agustus 2009

Michael Jackson dan Mbah Surip


Oleh : Heru Emka

planetmusikheruemka.blodspot.com


Michael Jackson dan Mbah Surip telah menjadi bintang media massa, dengan pemberitaan tentang kisah personal dan berita kematiannya yang menghenyakkan. Keduanya adalah selebritis dengan sisi yang berbeda tajam, tak ubahnya dua sisi berbeda dalam sebuah kepingan mata uang logam. Michael Jackson adalah mega bintang kelas dunia. Sedangkan Mbah Surip hanya seniman biasa yang jalan hidupnya melejit ke papan atas akibat fenomena tak terduga yang sering terjadi dalam ‘hukum’ budaya pop.

Keduanya telah mencuri perhatian kita dengan aneka kisah romantika kehidupan personal mereka, yang membuat banyak dari kita ‘jatuh hati’ sekaligus berempati terhadap perjalanan hidup mereka, dari perjalanan panjang mengais remah-remah kehidupan demi menegakkan jati diri. Soal Michael Jackson, kita telah membaca sejarah perjuangannya yang panjang. Namun fenomena popularitas Mbah Surip : dari bukan siapa-siapa menjadi orang paling ternama,- cukup mengaggetkan banyak orang. Lagunya; Tak Gendong, mendadak jadi fenomena terkini dalam blantika musik pop kita.Selain muncul di berbagai radio siaran, lagu ini juga berjaya di kanal berbagai TV swasta, bahkan terdengar di puluhan ribu ponsel sebagai nada sambung pribadi yang larisnya menandingi lagu milik grup musik pop yang paling beken sekalipun.

Tenarnya lagu ini dalam sudut pandang kajian budaya pop, sebenarnya wajar terjadi. Lirik lagunya, bila dicermati, biasa saja. Malah lirik lagu ini ( seperti lirik lagu ciptaan Mbah surip lainnya ) cenderung naïf. Namun lagu ini muncul di saat yang tepat. Saat blantika musik Indonesia berada dalam stagnasi akibat dominasi lagu pop tiga jurus, dan situasi sosial-politik kita yang dilanda gaduh riuh berbagai isu kampanye Pemilihan Presiden. “ Daripada pusing soal adu hebat kampanye, mending download lagunya Mbah Surip, “ kata seorang teman tentang keputusannya untuk memilih lagu Mbah Surip sebagai nada dering ponselnya.

Yang berlaku, sebenarnya juga masih dalam rumus abadi budaya pop. Ketika semua orang jemu pada kondisi yang ada, maka sesuatu yang baru dan memikat, apa pun bentuknya, yang bisa membuat orang melupakan kejenuhannya, segera disambar sebagai alternatif yang baru. Tak perduli lagunya cuma begitu saja, aransemennya tiga jurus, atau liriknya sekedar bla bla bla. Lagu Mbah Surip masih mendingan, masih terasa sebagai kalimat, Lirik lagu yang dibawakan Benyamin S hanya mengulang kata : “Begini ni nini, Begitu tu tu tu, terus menerus hingga lagu selesai. Lagu rock’n’roll sebuah grup di AS malah hanya mendendangkan berbagai model suara tawa.


Antitesa kemewahan

Tiga dasawarsa silam, hanya para bintang kondang saja yang layak disebut selebriti. Kini mereka ada di mana-mana, para presenter, pengacara, para janda, bahkan pembunuh pun ikut nongol sebagai selebriti. Jill Neimark dalam The Culture of Celebrity (Psychology Today, Juni 2004), menyebutkan bahwa sifat kemashuran telah berubah di era modern. Pernyataan bahwa selebritis modern dirangkai dari apa yang disebut sebagai rekadaya citra yang direkayasa dan dipasarkan secara danggih dan meluas ('images marketed, sold, and disseminated') menjadi kiat yang diterapkan di mana-mana, Kini kita menyaksikan, bagaimana teknologi komunikasi menjelmakan kemashuran secara spontan, sekaligus gampang terlupakan. Selebriti di era informasi ini gampang ditemukan dan begitu mudah pula terbuang, sedikit banyak adalah karena dalam kehidupan sehari-hari, kita berhadapan dengan pencitraan media massa (media images)

Pada kisah para selebriti di Amerika, Michael Jackson misalnya, selalu memberi jalan masuk bagi mitos pendewaan, namun sekaligus hasrat akan kebaikan dan keburukan, hasrat pengejaran kepuasan hidup sekaligus penghukumannya. bagi imajinasi kita tak saja untuk mendewakan merreka, Di sana, selebriti dicetak seperti roti, sudah menjadi pelengkap kebutuhan sehari-hari. Di sana setiap tahun selalu saja ada orang yang disebut sebagai lelaki terseksi (Sexiest Man Alive), dan ini menjadi produk rutin yang silih berganti.

Yang terjadi dalam kehidupan Mbah Surip justru kebalikan dari semua ini. Lelaki sederhana ini nampak menjalani kehidupan kesenimannya sebagai sebuah takdir. Lebih menurutkan kata hati daripada buaian mimpi menjadi selebriti. Sikap Mbah Surip dan pandangan hidupnya yang naif - yang sering disalahpahami sebagai ketololan – diam-diam telah menyodok keangguhan para selebritis instant. Bila diajak manggung, dia selalu mau, tak peduli dibayar berapa pun. "Yang penting pulang diamplopin, mau isinya berapa, dia nggak peduli, sing penting nyanyi," katanya dalam sebuah wawancara di sebuah TV swasta kita.

Setelah lagunya meledak hebat di pasaran, dan Mbah Surip kebanjiran rejeki milyaran rupiah, sikap lugunya tak berubah. Saat ditanya wartawan, uangnya mau dibelikan apa, Mbah surip menjawab, "Mbah belum tahu uangnya mau dibelikan apa. Tetapi Mbah ingin pesan kopi satu milyar dan juga beli gula satu milyar.” Jawaban yang terkesan sekenanya ini cukup absurd, terurama bagi penalaran budaya konsumtif kita. Saat orang lain bermimpi membeli rumah megah, mobil wewah bila ada rejeki,- Mbah Surip malah hanya ingin membeli gula dan kopi, Sebuah antitesa bagi kemewahan kemewahan gaya hidup orang beken di negeri ini, di nana citra dianggap segala-galanya. Kita masih ingat, bagaimana Johnny Indo memutuskan menjadi perampok demi haya hidup sleberitisnya, agar bisa selalubermobil dan berpakaian mewah.

Joshua Gamson dalam Claims to Fame: Celebrity in Contemporary America (University of California Press, 2003), juga menyebutkan bahwa motovasi utama para selebriti Amerika setelah mereka tenar, adalah meraih kekayaan sebanyak-banyaknya, lalu menikmati hidup di hari tua selayaknya sorga dunia. Mbah Surip sendiri mungkin ‘dihampiri’ fenomena ini. Misalnya dia dibujuk sebuah manajemen artis untuk mengikat kontrak . Seperti selebritis lainnya, Mbah Surip sudah menjadi tambang uang, kenaifan Mbah Surip harus dieksplorasi terus-menerus. Dalam album terbarunya nanti, Mbah Surip bahkan akan diduetkan dengan Manohara Pinot. Sebuah sensasi ganda, yang dalam hitungan kalkulator industri budaya pop, pasti mendatangkan keuntungan komersial yang melimpah.Tetapi Mbah Surip keburu dijemput Tuhan. Sehingga potensi artistiknya yang langka ini terselamatkan dari belitan tentakel industri budaya pop yang haus keuntungan.

Mungkin hal ini yang membedakan nasib Mbah Surip dengan Michael Jackson. Mbah Surip menghadap Tuhan dengan segenap kepolosan. Selamat jalan, Mbah Surip. Tuhan akan menyambutmu dengan sebuah senyuman.


- Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -

Musik Islami di Millenium Ini


Oleh : Heru Emka


planetmusikheruemka.blogspot.com


Di bulan Ramadhan ini, musik Islami kembali naik daun. Tapi apakah yang singgah dalam pikiran kita saat mendengar istilah musik Islami ? Irama gambus, kasidah, cuma sekedar rebana, atau instrumen band modern ? Pertanyaan ini terasa menggigit justru pada saat musik Islami memasuki milenium kedua, yang tak ubahnya sebuah jalan raya dengan lalu-lintas kebudayaan dan berbagtai persimpangan dengan segenap kemungkinan. Contohnya album Gigi yang dimaklumkan sebagai musik Islami. Dalam album Meraih Kemenangan, misalnya, GIGI menampilkan beberapa tembang yang dikenal bernuansa religius seperti lagu Tuhan, Rindu Rasul ( keduanya ciptaan Sam Bimbo dan Taufiq Ismail)

Lagu GIGI di album ini berbeda dari pola lagu Islami lainnya. Lagu Tuhan yang aslinya syahdu, diaransir dalam irama rock, lengkap dengan distorsi gitar dengan isian brass section. Pada lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata, GIGI memadukan harmoni rock yang digabung dengan isian rap. Pada lagu Lailatul Qadar, riff gitar dan drum dipacu dalam dengan tempo cepat, dengan loop – loop yang membalut lengkingan vokal Armand Maulana. Pada album berikutnya, GIGI malah mengangkat lagu Perdamaian, yang sebelumnya dikenal sebagai lagu kasidah yang dibawakan oleh grup Nasyida Ria dari Semarang.

Jauh sebelumnya, budaya Islam memiliki tradisi musik yang tinggi selama berabad-abad. Perjalanan musik Islami di negeri kita pun sudah melewatkan berbagai fase dan bentuk atau gaya, dari waktu ke waktu. Hingga akhir tahun ’60-an, musik Islami mewarnai blantika musik Indonesia adalah berbagai orkes gambus, dan lagu-lagu mereka hanya diputar pada segmentasi tertentu, misalnya di radio dakwah seperti PTDI, atau di RRI menjelang atau setelah siaran kotbah Jumat.


Dari gambus ke Bimbo

Yang beken ( punya album rekaman ) waktu itu adalah Orkes Gambus Al Fata pimpinan A. Rachmat dengan lagu-lagu yang judulnya berbahasa Arab seperti Hamawi Yaa Mismis, Ala Asfuri, dan sebagainya. Grup lain yang beken adalah Orkes Rebana Rofiqoch, dengan penyanyinya Rofiqoch Darto Wahab. Mereka dikenal dengan lagu hit seperti Guluban Mantho’a, Milkhub Winta Waana dan sebagainya. Lagu-lagu seperti inilah yang mungkin dianggap sebagai mainstream musik Islami.

Namun di pertengahan tahun ’70-an, mendadak Bimbo menyodorkan musik Islami yang lebih merangkul masyarakat luas dengan harmoni lagu pop yang indah dan gampang dicerna. Super hit mereka; lagu Rindu Rasul yang tetap ngetop hingga saat ini,-, dimainkan dalam komposisi gitar akustik dengan melodi tiupan seruling nan manis, dengan lirik puitis garapan penyair Taufik Ismail.

Lagu kasidah pop ala Bimbo ini tak saja membuat kaum muda di perkotaan jadi lebih menghayati tembang Islami, namun juga memacu tren musik saat itu. Grup musik lainnya seperti Koes Plus, D’ Loyd, Favorite’s Grup ikut mencipta lagu kasidah pop ala Bimbo. Sam Bimbo sendiri menuturkan bila waktu itu sekelompok Muslim yang justru memprotesnya, karena memainkan gitar dan suling, yang dianggap diharamkan dalam musik Islam.

“ Sejak tahun 1972 - 1973, kami memang mencoba menyajikan musik Islami yang baik dan cocok untuk jaman sekarang ini. Sebelum itu, suasana musik bulan Ramadan yang Islami tidak ada. Di jalur radio, kosong, yang ada lagu-lagu barat dan lagu pop biasa. Ternyata reaksi yang muncul luar biasa, disamping yang memuji ada juga yang protes dan menyebut musik kami setan, semua kami terima,” tutur Sam mengenang masa itu.

Anggapan bahwa musik Islami hanya boleh dimainkan dengan rebana dan mengharamkan alat musik lain bisa jadi hanya merupakan tafsir dari sebagian ulama tentang estetika musik.Kalau dicermati benar, berbagai grup kasidah di pedesaan dan kota-kota kecil malah menyertakan biola , yang jelas alat musik Barat. Sunan Kalijaga dan Wali Songo malah menggunakan gamelan Jawa (yang juga tak dikenal dalam budaya Arab) sebagai media syiar agama Islam, yang kini diikuti oleh Emha Ainun Najib dengan grup Gamelan Kiai Kanjeng.

Kita tentu tak akan meragukan kadar keIslaman Bimbo ( yang sekarang malah menjadi ikon musik Islami di negeri ini) atau Emha. Bahkan Sunan Kalijaga. Dalam The Rise of Music in the Ancient World East and West (New York, W.W. Norton, 1973 ) etnomusikolog Curt Sachs juga mengatakan , “Musik Arab berkembang bersamaan dengan tumbuhnya pusat kebudayaan di Suriah di bawah dinasti Umayyah (661 – 750 Masehi ) sebagai paduan musik etnis Suriah, Mesopotamia, Byzantium, dan Persia (Iran). Unsur lokal Arab yang kuat seperti melodi pengajian ayat suci Al Qur’an dan bahasa asli negara yang tunduk pada Khalifah Islam tak saja menghasilkan musik dengan teknik penampilan baru, namun juga aspek intonasi baru,bahkan alat musik baru.”

Intelektual musik Arab yang paling mashur adalah Abu Nasr al-Farabi (wafat pada tahun 950), dengan karya legendarisnya; Kitab al-Musiqa al-Kabir, yang dianggap sebagai buku induk tentang musik. Di buku ini Farabi tak saja membahas soal segi sains bunyi, namun juga factor intervalnya, tetrachord, berbagai jenis oktaf, alat musik, komposisi dan sebagainya. Al-Farabi juga menambahkan satu dawai pada lut (al-'ud , sejenis gitar) yang memadu prinsip dasar nada diatonis yang disusun ilmuwan Yunani; Pythagoreas untuk menjangkau nada diatonis

Pada jaman keemasan musik Arab ini, di sana terdapat beragam alat musik, seperti al-'ud (alat musik petik), naqqarat (sejenis tambur) rabab (alat musik gesek) dan al-nafir (terompet ). Bila demikian, bagaimana mungkin lebih dari seribu tahun kemudian, di milenium ini, alat musik Islam malah dikebiri, hanya boleh menampilkan rebana. Padahal syiar Islam harus bisa tampil lebih beragam dan kaya warna.

Kini selain GIGI dan Bimbu, da juga nama beken lainnya di jalur musik Islami seperti Opick, Sulis dan Hadad Alwi, di samping beberapa nama baru yang mulai mengekspresikan diri di jalur musik ini seperti Afgan, dan beberapa bintang muda lainnya, seperti Asmirandah, Revalina S. Temat, Intan Nuraini dan Melanie Putria berkolaborasi dalam sebuah album ramadhan.. Semuanya menambah semarak blantika tembang Islami, yang mulai marak di bulan Ramadhan ini.



Sabtu, 25 Juli 2009

Musik Etnis


Maestro Gending Semarangan


Oleh : Heru Emka



Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (gagrak anyar). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan.

Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang macapatan tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat.

Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an.

Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending gagrak anyar ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang sigrak (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.

Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.

Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang’.

Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain pasemon. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan pasemon dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan.

Musikolog Judith Becker dalam bukunya; Traditional Music in Modern Java ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (pangrawit) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.

Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan.

Heru Emka, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.

Komentar

      1. Mungkin tema ini tidak begitu menarik, tapi cobalah dikaji lebih jauh.
        Walaupun secara pribadi sy tak suka musik dangdut, tapi saya prihatin melihat kelesuan musik dangdut akhir2 ini. Dan biarpun akar musik ini berasal dari India, namun dangdut Indonesia tetap berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri yang cukup menjadi ikon musik khas Indonesia.
        Dalam hampir 10 tahun terakhir musik dangdut dilanda kelesuan, para pencipta lagu seakan mandul, bahkan para musisi dangdut baik amatir maupun prof 'lebih senang' memakai lirik lagu-lagu pop dengan aransmen dangdut. Hal ini terlihat dari maraknya dangdut panggung yang menggunakan lirik lagu-lagu pop. Sungguh memprihatinkan.

      2. = Suparmin Sp _


Rabu, 22 Juli 2009

Fenomena


Mbah Surip dan Fenomena Tembang Instan

Oleh : Heru Emka

planetmusikheruemka.blogspot.com


Tak gendonng, kemana-mana, Tak gendong, kemana-mana, Rnak toh, daripada naik taksi, Tak gendonng, kemana-mana….”


Lagu yang dinyanyikan oleh Mbah Surip ini ( pernah direkam dalam sebuah albumnya, di tahun 2003) mendadak jadi fenomena terkini dalam blantika musik pop kita.Selain muncul di berbagai radio siaran, lagu ini juga berjaya di kanal siar berbagai TV swasta, bahkan terdengar di puluhan ribu ponsel sebagai nada sambung pribadi yang larisnya menandingi lagu milik grup musik pop yang paling beken sekalipun.

Melejitnya lagu yang sebenarnya digarap dengan pas-pasan ini ( istilah lain yang sok beken; minimalis ) dalam sudut pandang kajian budaya pop, sebenarnya tak begitu mengherankan. Lirik lagunya, bila dicermati, biasa saja, tak begitu jenaka. Malah lirik lagu ini ( seperti lirik lagu ciptaan Mbah surip lainnya ) cenderung naïf. Namun lagu ini muncul di saat yang tepat. Saat blantika musik Indonesia berada dalam stagnasi akibat dominasi lagu pop tiga jurus, dan siruasi sosial-politik kita dilanda gaduh riuh simpang siur berbagai isu Pemilihan Presiden.

“ Daripada pusing soal adu hebat kampanye, mending download lagunya Mbah Surip, “ kata seorang teman tentang keputusannya untuk memilih memperdengarkan lagu Mbah Surip sebagai nada dering ponselnya. Susanna, teman saya lainnya, menjelaskan rasionalitas pilihannya, “ Aku senang, lagunya lucu dan tampil beda.

Yang berlaku, sebenarnya juga masih dalam aturan rumus abadi budaya pop. Ketika semua orang jemu pada kondisi yang ada, maka sesuatu yang baru dan memikat, apa pun bentuknya, yang bisa membuat orang melupakan kejenuhannya, segera disambar sebagaisebuah alternatif yang baru. Tak perduli lagunya cuma begitu saja, aransemennya tiga jurus, atau liriknya sekedar bla bla bla. Mbah Surip masih mendingan, liriknya masih terasa sebagai sebuah kalimat, Lirik lagu yang pernah dibawakan Benyamin S (yang berduet dengan Ida Royani ) malah hanya terdiri dari dua kata : “ Begini, begitu “, terus menerus kata ini diulang-ulang dalam berbagai aksen, hingga lagu selesai. Sebuah lagu rock’n’roll Barat, yang (kalau tak salah ) berjudul Haa…Haa…, malah mendendangkan berbagai model suara tawa.

Tak heran bila Mbah Surip, dalam salah satu album kasetnya ( diam-diam si Mbah berpenampilan nyentrik ini sudah merekam lima album : Ijo Royo-royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru (2004), ada lagu Bangun tidur, yang liriknya antara lain : “ Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Haaa…..Haaaa….Haaa.”

Pergumulan panjang

Akankah gaya musik yang naïf dan aksi panggung Mbah Surio yang ‘katrok’ ini juga memidu epigon-epigonnya ? Entahlah, karena kita selalu bisa melihat berbagai kisah pengulangan dan peniruan di balik kisah sukses lagu-lagu instan seperti ini. Misalnya, di akhir tahun -70-an, saat grup lawak Warkop muncul bersama Orke Pancaran Sinar Petromak (PSP ), muncul pula berbagai grup dngdut yang anggotanya terdiri dari para mahasiswa, yang memainkan lagu serupa ( lagu dangdut yang dibawakan dalam gaya ngepop dan jenaka ). Begitu pula saat Arie Wibowo dengan grupnya; Billbroad, melejit dengan lagu Madu dan Racun, beredar puluhan album kaset yang berbeda menyajikan lagu-lagu dalam tema yang serupa.

Puncaknya adalah saat Johnny Iskandar bersama grup orkes Pengantar Minum Racun (PMR) secara tak terduga meledakkan lagu dangdut Judul Judulan, dengan konsep dangdut jenaka, muncullah puluhan album dalam konsep serupa. Booming lagu ‘gelo’ (sinting) seperti ini malah sempat merebak setahun penuh dan menghajar pangsa pasar lagu pop kreatif Indonesia. Walau dalam industri musik pop, peran cukong dalam menentukan trend an jalur peredaran musik pop amat kuat, kadang tetap saja terjadi anomaly ; sebuah lagu yang Tanpa terduga melejit di pasaran sebagai sebuah lagu hit instan.

Walau lagu Yak Gendong-nya Mbah Surip melejit secara instan, perjalanan hidup Mbah Surip di blantika musik kita tidaklah instan, malah penuh dengan pergumulan dan perjuangan yang panjang. Kakek berambut gimbal ala Bob Marley ini ( yang setiap tiga hari sekali dicuci dengan sabun detergent ) biasa menyanyi dengan gaya cuek, dengan beragam gaya vokal. Dari senandung bluesy, gaya scat singing jazz, hingga teriakan parau menggeledek ala heavy metal. Tak heran bila di kalangan para pengamen dan musisi muda, nama Mbah Surip dikenal akrab.

Puluhan tahun menggelandang di dunia seni dan hidup sebagai pengamen

Menjelmakan Mbah Surip sebagai pribadi dengan riwayat yang kaya warna. Sebelum ‘menggelandang’ dj dunia seni, misalnya, dia pernah bekerja di perusahaan pengeboran minyak ( tahun 1975 hingga 1986) yang membuatnya banyak uang, hingga dia sempat ngelencer di Texas, Brunai, Singapura. Sebaliknya dia juga pernah menghabiskan dua celana saat naik sepeda dari Mojokerto menuju Jakarta di akhir tahun 80-an. Tujuannya ingin menantang panco petinju Ellias Pical. Sebuah niat yang ternyata tak kesampaian.

Akhirnya Mbah Surip nyasar di Bulungan. Menggeluti berbagai jenis kesenian, bermain teater pernah dicoba, melukis pun pernah dilakukan, sebelum memutuskan untuk menyanyi dan mengamen sehari-hari. Kreatifitasnya yang menyala-nyala tak saja menghasilkan ratusan lagu yang diciptakan di sembarang tempat, namun juga berbagai idiom yang aneh, salah satunya adalah ‘I Love You Full’.

Mbah Surip merasa biasa saja bila laginya ngrtop. Dia anggap itu sebagai bonus dari Tuhan, karena dia bahkan tak pernah berharap bila laginya direkam. “ Mencipta lagu bagi saya adalah kesenangan sehari-hari, sama seperti merokok dan minum kopi, “ katanya , yang juga mengaku tak risau walau tak pumua rumah. Bagi Mbah Surip, asal di kantong ada uang untuk makan atau naik ojek, cukuplah, karena “ banyak teman, di mana-mana ada teman, saya bisa numpang tidur di mana saja. Vahkan di pos kamling pun bisa,” katanya pula.

Oke lah. U love you full, Mbah Surip !


Senin, 06 Juli 2009

Kolaborasi Garin Nugroho dan Franky Sahilatua


Kisah tentang Panci dan Pancasila


Oleh : Heru Emka


Malam baru bermula ketika sekitar seratusan penonton berkumpul di sekitar panggung yang sederhana namun terasa artistik ( berkat kontur ‘jurang’ yang diubah menjadi teater alami dengan view melingkar) di Desa Seni Lerep. Di tengah panggung, sutradara Garin Nugroho duduk bersebelahan dengan penyanyi Franky Sahilatua, memulai pentas kolaborasi yang memadukan penuturan berbagai kisah inspiratif berselang-seling dengan tembang balada Franky, yang oleh Garin disebutkan sebagai ‘ niat untuk meneruskan tradisi pelipur lara’.

Gaduh riuh situasi politik seperti yang terjadi saat inilah yang menumbuhkan gagasan Garin Nugroho untuk menuturkan apa yang disebutnya sebagai Dongeng Pancasila, sebagai hasrat untuk menumbuhkan kesadaran dan pemikiran kritis masyarakat, di saat ruang bersama bagi suatu dialog sosial (istilah Garin ‘civic forum’) mulai memudar. Berbagai isu dan kepentingan golongan yang terasa menggumpal sebagai wacana yang saling beradu pengaruh, dicemaskan mengikis rasa solidaritas yang sebelumnya menjadi tali pengikat komunal masyarakat. Maka mulailah Franky berdendang dengan iringan gitar akustiknya, dilanjutkan oleh penuturan Garin tentang berbagai topic yang terentang panjang. Dari kisah tentang Mussolini yang beralih peran dari seorang pahlawan menjadi dictator yang ditolak rakyatnya, hingga kisah pedih tentang ironi Papua dan Taman Nasional Wasur sebagai ‘sorga yang hilang’.

Dari Dongeng Pancasila inilah wacana tentang nilai kebangsaan dikomunikasikan berdasarkan visi, pengalaman, emosi, empati dan sudut pandang keduanya terhadap berbagai problema yang sedang terjadi di masyarakat, meluncur dalam kisah sederhana tentang Soekarno, apel Malang, Marcopollo, Haji Agus Salim, Mussolini dan Rahim Perdamaian.

Garin berada di jalur yang benar saat dia melakukan dialog kebudayaan sebagai peristiwa yang terjadi dan dialami dalam kehidupan kita sehari-hari, jauh dari wacana kebudayaan sebagai konsepsi estetis dan elitis. Dengan gaya penuturan yang lembut, Garin berhasil merajut simpul-simpul inspirasi dari rangkaian narasi yang membingkai berbagai tema dan sudut pandang tentang religiusitas, patriotisme, solidaritas dan semangat untuk tumbuh dalam kebersamaan, yang secara prinsip telah diamanatkan dalam Pancasila. Saat Garin menggandeng Franky Sahilatua untuk mendanpinginya berkeliling pentas di sepuluh kota ( Ende, Solo, Semarang, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Makassar dan Medan ),- terjadilah sebuah jembatan yang terentang lurus bagi pemahaman atas semuanya sebagai sebuah makna yang terserap secara individual bagi para pemirsanya.

Penutur kata sejak semula bagai sepasang pengantin dengan musik pengiringnya. Di sisi lain, musik memang memiliki kecenderungan politis bila sudah menyandang lirik yang sepadan dengan hasrat teks yang politis pula. Karena itulah persekutuan narasi-musik cenderung lebih aksesibel, dengan abstraksi perenungan idiomatik yang akrab. Gaya dan idiom musik seperti ini yang cenderung untuk tampil sebagai sebuah model dari bentuk interaksi sosial yang ideal. Maka duet Franky dan Garin tak ubahnya persekutuan antara daya penghibur seorang troubadour dengan kalimat bernas seorang cendekia seperti Abunawas.

Gerakan sosial baru

Tradisi troubadour (penyanyi keliling) yang bermula di Eropa pada abad kesebelas , dianggap berjasa menyuntikkan kesadaran yang serta merta akan suasana sosial yang diwacanakan melalui gaya tutur dan dendang yang plastis, menyimpan sindiran dan bentuk pasemon yang tersamar, untuk menembus benteng kekuasaan mutlak penguasa,- kadang dalam bentuk lirik berbungkus teka-teki, lelucon, nasehat moral atau bahkan kisah dari dongeng fantasi - yang untuk menyamarkan realitas yang akan disampaikan - seolah-olah bermuara dari negeri antah berantah. Tak heran bila Dante Alighieri dalam De vulgari eloquentia, menjabarkan lirik lagu para troubadour ini sebagai fictio rethorica musicaque poita: lirik yang retorik, puitis sekaligus fiktif.

Di Amerika, misalnya, lagu rakyat selama ini memiliki tradisi menyuarakan ketidakpuasan politik, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Dalam sejarah budaya pop, hal ini mengacu pada era tahun ’50-an, ketika Woodie Guthrie ngamen ke berbagai penjuru AS, menyanyikan lagunya yang berjudul This Land is Your Land ( kini dianggap sebagai lagu protes sosial paling inspiratif). Hasilnya tak saja menimbulkan kesadaran rakyat jelata akan ketimpangan sosial yang terjadi di Era Depresi, namun juga ‘melahirkan’ seorang Bob Dylan, yang bertekad untuk menjadi ‘penyambung lidah rakyat’, menyanyikan lagu-lagu protes di Greenwich Village. Itulah titik tolak kemashuran Bob Dylan yang kemudian dianggap sebagai ‘suara generasinya’ sebagai pemula gerakan anti perang.

Franky Sahilatua sendiri adalah seniman yang sejak awal karirnya memiliki keterikatan pada nuansa sosial yang ada di masyarakat kita. Sebagai penyanyi lagu balada, Franky tak saja bernyanyi tentang musim bunga, atau nostalgia pedih seorang ibu yang kehilangan anak gadisnya, namun dia juga berdendang tentang kaum marginal; kehidupan perempuan pengumpul daun jati, orang-orang pinggiran yang terus bertahan di tengah berbagai ketimpangan dan ketidak adilan, seperti rakyat Papua yang mengais rejeki sebagai penjual buah piang, di bumi mereka yang kaya raya. Maka, dibalik suaranya yang mengalun lembut dan denting gitarnya yang bening, Franky bagaikan magma sosial yang tersamarkan. Dia tak saja mengalir deras dengan lagunya Di Bawah Tiang Bendera ( yang dicipta berdasarkan peristiwa 27 Juli ), namun juga terasa menonjok saat menyanyikan lagu Papua. Lagu yang menurut Garin, begitu dimuliakan di Papua, diputar di setiap gereja tak ubahnya panggilan azan di mesjid-mesjid kita ini begitu menggugah, serasa bagaikan orasi I Have a Dream-nya Martin Luther King Jr.

Pentas keliling Dongeng Pancasila ini bahkan berpeluang mendorong terjadinya gerakan sosial baru. Bila seorang Woodie Guthrie mengilhami seorang Bob Dylan, maka duo Garin-Franky ini niscaya akan memompakan lebih banyak keyakinan bagi kaum muda di seantero wilayah Nusantara, bila dilakukan lebih intens, dengan merajut jaringan kerja dan membina bentuk-bentuk bagi apresiasi yang luas lagi. Bagi saya, materi yang terkandung dalam Dongeng Pancasila terlalu sayang bila hanya berlalu sebagai sebuah peristiwa kesenian semata. Lewat salah satu kisah dalam Dongeng Pancasila misalnya, masyarakat akan meninjau ulang makna dan arti kata pahlawan, bahkan untuk apa sih sebenarnya kita merdeka kalau rakyat semakin menangis dalam kemiskinan. Pemimpin seperti apakah yang kita butuhkan saat ini, karena menurut Garin, pemimpun yang tak lahir dari hati nurani rakyatnya bagaikan arwah penasaran. Tak pernah sampai pada tujuan.

Menjelang akhir, Garin berkisah tentang sebuah daerah di pedesaan Jawa Tengah, di mana para penduduknya hidup sebagai perajin yang membuat lambang Garuda Pancasila. Kini pesanan lambang negara dan bangsa kita itu tak pernah muncul, sehingga para perajin mengecor lagi semua lambang Garuda Pancasila yang tersisa dan mendaur ulang menjadi panci, untuk menopang hidup mereka sehari-hari. Bukankah kisah ini mencerminkan ironi, ketika ideologi kebangsaan ‘dicairkan’ dan menjadi barang dagangan dan obyek keuntungan semata ?

- Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -

Song Stories 1


Smells Like Teen Spirit

Nirvana Kurt Cobain. Album Nevermind” - 1991


Oleh : Heru Emka

Load up on guns and bring your friends
It's fun to lose and to pretend
She's over bored and self assured
Oh no, I know a dirty word

Hello, hello, hello, how low?
(3 x)
Hello, hello, hello!

With the lights out, it's less dangerous
Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A mulatto. An albino. A mosquito. My libido
Yay! Yay! Yay!

I'm worse at what I do best
And for this gift I feel blessed
Our little group has always been
And always will until the end

With the lights out, it's less dangerous
Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A mulatto. An albino. A mosquito. My libido
Yay! Yay! Yay!

And I forget just why I taste
Oh yeah, I guess it makes me smile
I found it hard, it's hard to find
Oh well, whatever, nevermind

Hello, hello, hello, how low?
(3 x)
Hello, hello, hello!

With the lights out, it's less dangerous
Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A mulatto. An albino. A mosquito. My libido, A denial!
(9x)

Inilah lagu alternative pertama yang melejit jadi hit, sejak istilah alternative muncul sebagai sebutan genre musik yang baru, di akhir tahun ’80-an. Gaya musik ini lantas dikenal dengan istilah yang lebih khas, "grunge",- yang ditandai dengan gayanya yang ugal-ugalann (craze), bunyi gitar yang keras, serta lirik lagu yang sinis dan gusar.

Kurt Cobain menuliskan lagu ini dalam sebuah jam-session, sebelum bandnya; Nirvana, beken.Waktu itu Kurt Cobain masih pacaran dengan vokalis band cewek Bikini; Tobi Vail. Adalah Kathleen Hanna, personil Bikini Kill lainnya, yang memberi ide Cobain ‘tuk menuliskan lagu ini. Suatu malam, setelah minum-minum bersama, mereka jalan-jalan dan mencoretkan grafiti di jalanan seputar kota Seattle. Hanna kemudian menyemprotkan cat di dinding kamar mandi mereka,- menuliskan kalimat : "Kurt Smells Like Teen Spirit". Teen Spirit ini adalah merek deodoran remaja yang sering dipakai Tobi Vail.

Kurt Cobain sama sekali bukan cowok modis, sehingga dia pun tak menyadari bila Teen Spirit adalah merek farfum. Dia mengira bila kata Teen Spirit hanyalah salah satu idiom yang digunakan Hanna untuk menyemangati jiwa muda mereka. Tentu saja penjualan parfum remaja itu jadi melonjak setelah lagu " Smells Like Teen Spirit" ini meledak jadi superhit., walau sebenarnya tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lirik lagunya yang mengkisahkan semangat pemberontakan anak muda. Sebenarnya semua Nirvana membenci video klip. Namun akhirnya mereka setuju untuk berkompromi dengan pasar bila video klip itu dibuat sesuai konsep mereka, yang oleh Cobain disebut sebagai "Pep Rally from Hell." Dan para pemandu sorak yang muncul di sana adalah penari stripper.

Dua hari sebelum syuting video “Smells Like Teen Spirit “, Nirvana manggung di The Roxy Theater, Los Angeles, selama dua hari. Dari situ, Nirvana mengundang para penonton untuk datang dan ikut syuting videoklip perdana mereka, yang pengambilan gambarnya berlangsung lancar selama 8 jam. Adegan dalam video klip itu sendiri diilhami adegan dalam film “Rock And Roll High School" yang menampilkan lagu the Ramones. Adegan ketika personil Nirvana dan pan merka menghancurkan set, di akhir video, merupakan kenyataan yang sebenarnya. Nirvana dan para remaja itu mulai ‘tinggi’ setelah syuting nonstop selama 8 jam, dan seorang penggemar berkata bila sebaiknya mereka menghancurkan saja set dan property yang dipakai syuting. Produser bilang; silakan,- dan mereka pun melampiaskan semua kejengkelan yang ada.

Sebagaimana konsep dasar musik ‘grunge’ yang anti kemapanan, vedio klip “ Smells Like Teen Spirit” ini juga merupakan bentuk dari konsep anti-video klip. Kurt Cobain menolak sepenuhnya konsep ‘keindahan’ dalam video klip itu, misalnya dia merubah figure para pemandu sorak yang semula para yang ramping dan seksi, dengan menampilklan para pemandu sorak yang bertubuh gemuk dan secara fisik tidak menarik. Sebenarnya sutradaranya tak senang dengan gagasan aneh ini. Tapi daripada mereka batal syuting, akhirnya si sutradara pun mengalah, termasuk membiarkan para gadis gemuk pemandu sorak itu tampil dengan ‘tato’ di lengan mereka dan memakai kaos yang melambangkan anarki. Tadinya MTV menolak menayangkan ‘video jelek’ ini. Namun setelah lagunya meledak, mereka malah sering menampilkan video klip Nirvana ini.

Begitu bekennya lagu “ Smells Like Teen Spirit” , sehingga Weird Al Yankovic merekam versi parodinya, dengan judul "Smells Like Nirvana." Album “Nevermind”, sendiri tampil dengan cover yang memikat : foto bayi sedang berenang mengejar lembaran dolar. Idenya bermula saat Cobain dan Krist Novoselic (basis Nirvana) melihat film proses kelahiran di dalam air. Mereka menyewa fotografer untuk memotret adegan bayi yang dilatih berenang. Bayi yang menjadi menjadi model sampul album ini bernama Spencer Elden (baru berumur 4 bulan waktu itu). Walau "Smells Like Nirvana." menjadi hit Nirvana paling kondang, entah lagu ini kenapa jarang dimainkan di berbagai konser mereka.