Sabtu, 22 Agustus 2009

Michael Jackson dan Mbah Surip


Oleh : Heru Emka

planetmusikheruemka.blodspot.com


Michael Jackson dan Mbah Surip telah menjadi bintang media massa, dengan pemberitaan tentang kisah personal dan berita kematiannya yang menghenyakkan. Keduanya adalah selebritis dengan sisi yang berbeda tajam, tak ubahnya dua sisi berbeda dalam sebuah kepingan mata uang logam. Michael Jackson adalah mega bintang kelas dunia. Sedangkan Mbah Surip hanya seniman biasa yang jalan hidupnya melejit ke papan atas akibat fenomena tak terduga yang sering terjadi dalam ‘hukum’ budaya pop.

Keduanya telah mencuri perhatian kita dengan aneka kisah romantika kehidupan personal mereka, yang membuat banyak dari kita ‘jatuh hati’ sekaligus berempati terhadap perjalanan hidup mereka, dari perjalanan panjang mengais remah-remah kehidupan demi menegakkan jati diri. Soal Michael Jackson, kita telah membaca sejarah perjuangannya yang panjang. Namun fenomena popularitas Mbah Surip : dari bukan siapa-siapa menjadi orang paling ternama,- cukup mengaggetkan banyak orang. Lagunya; Tak Gendong, mendadak jadi fenomena terkini dalam blantika musik pop kita.Selain muncul di berbagai radio siaran, lagu ini juga berjaya di kanal berbagai TV swasta, bahkan terdengar di puluhan ribu ponsel sebagai nada sambung pribadi yang larisnya menandingi lagu milik grup musik pop yang paling beken sekalipun.

Tenarnya lagu ini dalam sudut pandang kajian budaya pop, sebenarnya wajar terjadi. Lirik lagunya, bila dicermati, biasa saja. Malah lirik lagu ini ( seperti lirik lagu ciptaan Mbah surip lainnya ) cenderung naïf. Namun lagu ini muncul di saat yang tepat. Saat blantika musik Indonesia berada dalam stagnasi akibat dominasi lagu pop tiga jurus, dan situasi sosial-politik kita yang dilanda gaduh riuh berbagai isu kampanye Pemilihan Presiden. “ Daripada pusing soal adu hebat kampanye, mending download lagunya Mbah Surip, “ kata seorang teman tentang keputusannya untuk memilih lagu Mbah Surip sebagai nada dering ponselnya.

Yang berlaku, sebenarnya juga masih dalam rumus abadi budaya pop. Ketika semua orang jemu pada kondisi yang ada, maka sesuatu yang baru dan memikat, apa pun bentuknya, yang bisa membuat orang melupakan kejenuhannya, segera disambar sebagai alternatif yang baru. Tak perduli lagunya cuma begitu saja, aransemennya tiga jurus, atau liriknya sekedar bla bla bla. Lagu Mbah Surip masih mendingan, masih terasa sebagai kalimat, Lirik lagu yang dibawakan Benyamin S hanya mengulang kata : “Begini ni nini, Begitu tu tu tu, terus menerus hingga lagu selesai. Lagu rock’n’roll sebuah grup di AS malah hanya mendendangkan berbagai model suara tawa.


Antitesa kemewahan

Tiga dasawarsa silam, hanya para bintang kondang saja yang layak disebut selebriti. Kini mereka ada di mana-mana, para presenter, pengacara, para janda, bahkan pembunuh pun ikut nongol sebagai selebriti. Jill Neimark dalam The Culture of Celebrity (Psychology Today, Juni 2004), menyebutkan bahwa sifat kemashuran telah berubah di era modern. Pernyataan bahwa selebritis modern dirangkai dari apa yang disebut sebagai rekadaya citra yang direkayasa dan dipasarkan secara danggih dan meluas ('images marketed, sold, and disseminated') menjadi kiat yang diterapkan di mana-mana, Kini kita menyaksikan, bagaimana teknologi komunikasi menjelmakan kemashuran secara spontan, sekaligus gampang terlupakan. Selebriti di era informasi ini gampang ditemukan dan begitu mudah pula terbuang, sedikit banyak adalah karena dalam kehidupan sehari-hari, kita berhadapan dengan pencitraan media massa (media images)

Pada kisah para selebriti di Amerika, Michael Jackson misalnya, selalu memberi jalan masuk bagi mitos pendewaan, namun sekaligus hasrat akan kebaikan dan keburukan, hasrat pengejaran kepuasan hidup sekaligus penghukumannya. bagi imajinasi kita tak saja untuk mendewakan merreka, Di sana, selebriti dicetak seperti roti, sudah menjadi pelengkap kebutuhan sehari-hari. Di sana setiap tahun selalu saja ada orang yang disebut sebagai lelaki terseksi (Sexiest Man Alive), dan ini menjadi produk rutin yang silih berganti.

Yang terjadi dalam kehidupan Mbah Surip justru kebalikan dari semua ini. Lelaki sederhana ini nampak menjalani kehidupan kesenimannya sebagai sebuah takdir. Lebih menurutkan kata hati daripada buaian mimpi menjadi selebriti. Sikap Mbah Surip dan pandangan hidupnya yang naif - yang sering disalahpahami sebagai ketololan – diam-diam telah menyodok keangguhan para selebritis instant. Bila diajak manggung, dia selalu mau, tak peduli dibayar berapa pun. "Yang penting pulang diamplopin, mau isinya berapa, dia nggak peduli, sing penting nyanyi," katanya dalam sebuah wawancara di sebuah TV swasta kita.

Setelah lagunya meledak hebat di pasaran, dan Mbah Surip kebanjiran rejeki milyaran rupiah, sikap lugunya tak berubah. Saat ditanya wartawan, uangnya mau dibelikan apa, Mbah surip menjawab, "Mbah belum tahu uangnya mau dibelikan apa. Tetapi Mbah ingin pesan kopi satu milyar dan juga beli gula satu milyar.” Jawaban yang terkesan sekenanya ini cukup absurd, terurama bagi penalaran budaya konsumtif kita. Saat orang lain bermimpi membeli rumah megah, mobil wewah bila ada rejeki,- Mbah Surip malah hanya ingin membeli gula dan kopi, Sebuah antitesa bagi kemewahan kemewahan gaya hidup orang beken di negeri ini, di nana citra dianggap segala-galanya. Kita masih ingat, bagaimana Johnny Indo memutuskan menjadi perampok demi haya hidup sleberitisnya, agar bisa selalubermobil dan berpakaian mewah.

Joshua Gamson dalam Claims to Fame: Celebrity in Contemporary America (University of California Press, 2003), juga menyebutkan bahwa motovasi utama para selebriti Amerika setelah mereka tenar, adalah meraih kekayaan sebanyak-banyaknya, lalu menikmati hidup di hari tua selayaknya sorga dunia. Mbah Surip sendiri mungkin ‘dihampiri’ fenomena ini. Misalnya dia dibujuk sebuah manajemen artis untuk mengikat kontrak . Seperti selebritis lainnya, Mbah Surip sudah menjadi tambang uang, kenaifan Mbah Surip harus dieksplorasi terus-menerus. Dalam album terbarunya nanti, Mbah Surip bahkan akan diduetkan dengan Manohara Pinot. Sebuah sensasi ganda, yang dalam hitungan kalkulator industri budaya pop, pasti mendatangkan keuntungan komersial yang melimpah.Tetapi Mbah Surip keburu dijemput Tuhan. Sehingga potensi artistiknya yang langka ini terselamatkan dari belitan tentakel industri budaya pop yang haus keuntungan.

Mungkin hal ini yang membedakan nasib Mbah Surip dengan Michael Jackson. Mbah Surip menghadap Tuhan dengan segenap kepolosan. Selamat jalan, Mbah Surip. Tuhan akan menyambutmu dengan sebuah senyuman.


- Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar