Sabtu, 25 Juli 2009

Musik Etnis


Maestro Gending Semarangan


Oleh : Heru Emka



Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (gagrak anyar). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan.

Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang macapatan tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat.

Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an.

Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending gagrak anyar ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang sigrak (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.

Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.

Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang’.

Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain pasemon. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan pasemon dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan.

Musikolog Judith Becker dalam bukunya; Traditional Music in Modern Java ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (pangrawit) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.

Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan.

Heru Emka, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar