Rabu, 22 Juli 2009

Fenomena


Mbah Surip dan Fenomena Tembang Instan

Oleh : Heru Emka

planetmusikheruemka.blogspot.com


Tak gendonng, kemana-mana, Tak gendong, kemana-mana, Rnak toh, daripada naik taksi, Tak gendonng, kemana-mana….”


Lagu yang dinyanyikan oleh Mbah Surip ini ( pernah direkam dalam sebuah albumnya, di tahun 2003) mendadak jadi fenomena terkini dalam blantika musik pop kita.Selain muncul di berbagai radio siaran, lagu ini juga berjaya di kanal siar berbagai TV swasta, bahkan terdengar di puluhan ribu ponsel sebagai nada sambung pribadi yang larisnya menandingi lagu milik grup musik pop yang paling beken sekalipun.

Melejitnya lagu yang sebenarnya digarap dengan pas-pasan ini ( istilah lain yang sok beken; minimalis ) dalam sudut pandang kajian budaya pop, sebenarnya tak begitu mengherankan. Lirik lagunya, bila dicermati, biasa saja, tak begitu jenaka. Malah lirik lagu ini ( seperti lirik lagu ciptaan Mbah surip lainnya ) cenderung naïf. Namun lagu ini muncul di saat yang tepat. Saat blantika musik Indonesia berada dalam stagnasi akibat dominasi lagu pop tiga jurus, dan siruasi sosial-politik kita dilanda gaduh riuh simpang siur berbagai isu Pemilihan Presiden.

“ Daripada pusing soal adu hebat kampanye, mending download lagunya Mbah Surip, “ kata seorang teman tentang keputusannya untuk memilih memperdengarkan lagu Mbah Surip sebagai nada dering ponselnya. Susanna, teman saya lainnya, menjelaskan rasionalitas pilihannya, “ Aku senang, lagunya lucu dan tampil beda.

Yang berlaku, sebenarnya juga masih dalam aturan rumus abadi budaya pop. Ketika semua orang jemu pada kondisi yang ada, maka sesuatu yang baru dan memikat, apa pun bentuknya, yang bisa membuat orang melupakan kejenuhannya, segera disambar sebagaisebuah alternatif yang baru. Tak perduli lagunya cuma begitu saja, aransemennya tiga jurus, atau liriknya sekedar bla bla bla. Mbah Surip masih mendingan, liriknya masih terasa sebagai sebuah kalimat, Lirik lagu yang pernah dibawakan Benyamin S (yang berduet dengan Ida Royani ) malah hanya terdiri dari dua kata : “ Begini, begitu “, terus menerus kata ini diulang-ulang dalam berbagai aksen, hingga lagu selesai. Sebuah lagu rock’n’roll Barat, yang (kalau tak salah ) berjudul Haa…Haa…, malah mendendangkan berbagai model suara tawa.

Tak heran bila Mbah Surip, dalam salah satu album kasetnya ( diam-diam si Mbah berpenampilan nyentrik ini sudah merekam lima album : Ijo Royo-royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru (2004), ada lagu Bangun tidur, yang liriknya antara lain : “ Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Haaa…..Haaaa….Haaa.”

Pergumulan panjang

Akankah gaya musik yang naïf dan aksi panggung Mbah Surio yang ‘katrok’ ini juga memidu epigon-epigonnya ? Entahlah, karena kita selalu bisa melihat berbagai kisah pengulangan dan peniruan di balik kisah sukses lagu-lagu instan seperti ini. Misalnya, di akhir tahun -70-an, saat grup lawak Warkop muncul bersama Orke Pancaran Sinar Petromak (PSP ), muncul pula berbagai grup dngdut yang anggotanya terdiri dari para mahasiswa, yang memainkan lagu serupa ( lagu dangdut yang dibawakan dalam gaya ngepop dan jenaka ). Begitu pula saat Arie Wibowo dengan grupnya; Billbroad, melejit dengan lagu Madu dan Racun, beredar puluhan album kaset yang berbeda menyajikan lagu-lagu dalam tema yang serupa.

Puncaknya adalah saat Johnny Iskandar bersama grup orkes Pengantar Minum Racun (PMR) secara tak terduga meledakkan lagu dangdut Judul Judulan, dengan konsep dangdut jenaka, muncullah puluhan album dalam konsep serupa. Booming lagu ‘gelo’ (sinting) seperti ini malah sempat merebak setahun penuh dan menghajar pangsa pasar lagu pop kreatif Indonesia. Walau dalam industri musik pop, peran cukong dalam menentukan trend an jalur peredaran musik pop amat kuat, kadang tetap saja terjadi anomaly ; sebuah lagu yang Tanpa terduga melejit di pasaran sebagai sebuah lagu hit instan.

Walau lagu Yak Gendong-nya Mbah Surip melejit secara instan, perjalanan hidup Mbah Surip di blantika musik kita tidaklah instan, malah penuh dengan pergumulan dan perjuangan yang panjang. Kakek berambut gimbal ala Bob Marley ini ( yang setiap tiga hari sekali dicuci dengan sabun detergent ) biasa menyanyi dengan gaya cuek, dengan beragam gaya vokal. Dari senandung bluesy, gaya scat singing jazz, hingga teriakan parau menggeledek ala heavy metal. Tak heran bila di kalangan para pengamen dan musisi muda, nama Mbah Surip dikenal akrab.

Puluhan tahun menggelandang di dunia seni dan hidup sebagai pengamen

Menjelmakan Mbah Surip sebagai pribadi dengan riwayat yang kaya warna. Sebelum ‘menggelandang’ dj dunia seni, misalnya, dia pernah bekerja di perusahaan pengeboran minyak ( tahun 1975 hingga 1986) yang membuatnya banyak uang, hingga dia sempat ngelencer di Texas, Brunai, Singapura. Sebaliknya dia juga pernah menghabiskan dua celana saat naik sepeda dari Mojokerto menuju Jakarta di akhir tahun 80-an. Tujuannya ingin menantang panco petinju Ellias Pical. Sebuah niat yang ternyata tak kesampaian.

Akhirnya Mbah Surip nyasar di Bulungan. Menggeluti berbagai jenis kesenian, bermain teater pernah dicoba, melukis pun pernah dilakukan, sebelum memutuskan untuk menyanyi dan mengamen sehari-hari. Kreatifitasnya yang menyala-nyala tak saja menghasilkan ratusan lagu yang diciptakan di sembarang tempat, namun juga berbagai idiom yang aneh, salah satunya adalah ‘I Love You Full’.

Mbah Surip merasa biasa saja bila laginya ngrtop. Dia anggap itu sebagai bonus dari Tuhan, karena dia bahkan tak pernah berharap bila laginya direkam. “ Mencipta lagu bagi saya adalah kesenangan sehari-hari, sama seperti merokok dan minum kopi, “ katanya , yang juga mengaku tak risau walau tak pumua rumah. Bagi Mbah Surip, asal di kantong ada uang untuk makan atau naik ojek, cukuplah, karena “ banyak teman, di mana-mana ada teman, saya bisa numpang tidur di mana saja. Vahkan di pos kamling pun bisa,” katanya pula.

Oke lah. U love you full, Mbah Surip !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar